Pagi itu, 3 Februari 2008 pukul 07.00 di UMM Dome, lebih dari delapan puluh orang berdiri, berbaris dengan tertib dengan berbagai kostum dan tingkah. Sebagian dari mereka bersenandung kecil sambil mendengarkan musik dari MP3 player, sedangkan sebagian lainnya mengobrol mengusir rasa capek karena sudah hampir satu jam berdiri. Orang-orang itu datang untuk tujuan yang sama: audisi Indonesian Idol 2008. Hal yang sama juga terjadi di berbagai kota yang menyelenggarakan audisi Indonesian Idol, apakah itu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan kota lainnya, seluruhnya diserbu oleh para peserta yang ingin mengikuti audisi. Tentu saja hal ini bukan monopoli Indonesian Idol belaka, hal yang sama juga terjadi di audisi Mamma Mia, Idola Cilik, AFI Junior, Stardut dan lain sebagainya.
Demam menjadi idola telah berlangsung di Indonesia cukup lama, hanya saja gaungnya sangat terasa dalam lima tahun ke belakang. Ketika Akademi Fantasi Indosiar untuk kali pertama muncul, ribuan orang dari berbagai profesi dan tingkatan umur menyerbu Indosiar, demikian pula ketika Indonesian Idol dilaksanakan untuk musim pertama. Ajang pencarian bakat memang bukan hal baru, sebelumnya telah kontes-kontes yang sama. Asia Bagus misalnya, berhasil menelurkan Krisdayanti sebagai salah satu pemenang dan tetap eksis hingga saat ini. Persoalannya adalah, mengapa ajang semacam itu justru semakin banyak dengan segmentasi yang semakin luas? Mengapa orang membutakan diri dengan melupakan fakta bahwa banyak mantan idol maupun akademi yang nasibnya tidak jelas saat ini? Di mana pula peran media dalam menyebarkan demam jadi idola di Indonesia?
Media sebagai Penghantar ‘Demam’
Negara Indonesia boleh jadi merupakan negara yang memiliki media massa yang sangat kreatif ketimbang negara Asia lainnya. Media di Indonesia memiliki kebebasan untuk menciptakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan media itu sendiri, meskipun dalam banyak hal mereka pun seringkali mengatasnamakan masyarakat luas. Begitu luasnya pengaruh media di masyarakat sehingga dapat dipungkiri bahwa media telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur media menyuguhkan berbagai varian acara melalui berbagai medium, apakah itu televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya. Sebagai bagian integral dalam kehidupan masusia modern, media turut serta dalam berbagai usaha menyampaikan informasi, bahkan media telah bertindak lebih jauh: media menjadi penghantar paling baik dalam menyebarkan “demam” di masyarakat.
Kasus ‘demam jadi bintang’ adalah salah satu kasus yang paling baik yang dapat dilihat, betapa media telah menjadi penghantar yang sangat sempurna dalam menyebarkan demam idol tersebut. Demam itu tidak hanya menyebar di wilayah perkotaan besar, namun juga di kota-kota kecil hingga ke pelosok pedalaman dan desa terpencil. Media merupakan wahana penyampaian informasi yang luar biasa luas dan dapat diakses oleh siapapun, tentu saja dengan satu syarat bahwa sarana penyebarannya sudah dapat dijangkau. Rasanya sulit menemukan satu wilayah yang sepenuhnya terisolir dari media, terutama televisi. Saya teringat ketika demam film Titanic menyeruak, ketika itu keponakan ayah saya yang tinggal di wilayah desa terpencil di tengah hutan tebu di Cirebon bahkan rela menempuh perjalanan hingga 35 kilo meter hanya untuk menonton film tersebut di bioskop besar di pusat kota Cirebon, saya bahkan rela kabur dari sekolah saya hanya untuk menonton film tersebut. Apa yang sebetulnya terjadi sangat sederhana, karena setiap berita di televisi dan surat kabar menggemakan betapa luar biasanya film yang diangkat dari kisah nyata itu. Lupakan fakta bahwa Leonardo di Caprio yang memainkan film itu, yang justru paling menarik adalah bagaimana media menyampaikan suatu pesan yang sangat jelas bagi saya: tonton film itu atau saya akan menyesal jika melewatkannya.
Kamu Terkenal Maka Kamu Ada!!
Sebagaimana media menyebarkan demam film Titanic, dengan cara yang sama media menyebarkan demam jadi idola atau terkenal di masyarakat. Demam untuk jadi idola atau jadi bintang sebenarnya dapat dilihat dengan bingkai yang sangat sederhana: karena orang terkenal memiliki beberapa ‘hak’ tertentu yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga banyak orang rela menghabiskan waktu mereka untuk ikut audisi dan mencapai impian mereka, menjadi terkenal, dan menikmati privelege tersebut.
Descartes pernah berkata ‘kamu berpikir maka kamu ada’, Idy Subandy Ibrahim (2007) pun pernah berkata ‘kamu bergaya maka kamu ada!’, maka saya dengan senang hati akan mengatakan ‘kamu terkenal maka kamu ada!’. Tentu saja ini bukan sekedar omong kosong atau ucapan absurd belaka, adalah satu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa popularitas membuat seseorang dapat menikmati hak khusus, terlepas dari asal-muasal dirinya, popularitas mengalahkan segalanya. Ketika Dewi Persik tiba di bandara Juanda, maka dia dengan kawalan polisi akan segera di diantar ke mobil yang telah tersedia, bahkan dia tidak perlu antri untuk ambil bagasi, orang seakan melupakan fakta bahwa Dewi Persik cuma perempuan yang berasal dari Jember yang kebetulan terkenal.
Popularitas adalah kata kunci penting yang harus dipahami ketika melihat fenomena demam bintang di masyarakat (Ferris 2007). Menjadi bintang idola menjadi sebuah target baru dalam kehidupan orang Indonesia saat ini. Jika mengikuti logika ekonomi, adanya permintaan akan berlanjut pada adanya penawaran. Dengan demikian, yang terjadi saat ini tidak lebih dari adanya permintaan masyarakat Indonesia, sehingga industri media melihat ini sebagai peluang yang tidak dapat dilepaskan. Barangkali anggapan tersebut merupakan simplifikasi berlebihan, namun rasanya hal tersebut ada benarnya. Munculnya demam jadi bintang dengan segala variasinya merupakan bentuk penawaran yang diberikan oleh industri media kepada masyarakat, dan sebagai bagian dari industri, tentu saja hal ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Saya sendiri berpendapat bahwa munculnya demam jadi bintang ini merupakan lanjutan dari mimpi jadi orang kaya yang sebelumnya sangat booming di media televisi. Ingatkah anda ketika Helmy Yahya berpura-pura menjadi orang asing yang memberikan uang sepuluh juta rupiah bagi orang yang ia rasa berhak dan ia memberikannya dengan syarat untuk dibelikan barang hanya dalam waktu tiga puluh menit, yang terjadi seterusnya mudah ditebak: orang tersebut menjadi sangat konsumtif.[1] Saya ingat betul bagaimana seorang pemulung tua membeli kulkas seharga lebih dari satu juta rupiah padahal rumahnya hanya lah rumah petak kecil, lalu bagaima orang tersebut mampu membiayai kebutuhan listriknya tidak lah menjadi pertimbangan si pemulung tadi. Dalam kasus yang lain Peggy Melati Sukma pun menjadi pembawa acara yang hampir sama, hanya saja acaranya lebih rasional ketimbang acara Helmy. Ketika acara menuai kritik, media mengalihkan pada upaya mewujudkan mimpi terkenal yang selama ini hanya dalam sintron, dan gejala tersebut bahkan semakin akut saat ini.
Audisi Indonesian Idol tahun ini misalnya, bahkan ada segmen khusus bagi mereka yang berprofesi ‘jauh dari idola’ seperti polisi, supir bis, penarik becak, dan lain sebagainya. Indonesian Idol memberikan pesan yang sangat jelas: siapa pun bisa jadi idola. Sekurangnya saya dapat memberikan tiga alasan mengapa masyarakat menjadi sangat tertarik untuk mengikuti berbagai ajang pencarian bakat ini, yaitu: Pertama, hal ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat ekonomi atau kesenjangan yang lebar antara yang kaya dan miskin. Dengan mengikuti ajang ini mereka berharap untuk dapat memperbaiki nasib dirinya maupun keluarganya, atau dalam hal ini ajang pencarian bakat dijadikan sebagai jalan keluar atas himpitan ekonomi. Kedua, hal ini terjadi karena adanya kesenjangan yang lebar antara yang terkenal dengan yang tidak terkenal. Dengan mengikuti ajang ini mereka berharap untuk terkenal, bahkan sebagian dari mereka menjadikan ajang ini untuk mengalihkan keadaan di sekitar mereka, atau dalam hal ini ajang pencarian bakat dapat dikatakan sebagai eskapisme atas kondisi riil mereka. Ketiga, hal ini terjadi karena menganggap karir di dunia entertainmen lebih menguntungkan, sehingga mereka menjadikan ajang ini sebagai batu loncatan untuk karir yang lebih bagus di masa depan.
Persoalannya adalah, ketiga hal ini tidak lah dapat dibedakan secara tegas dan jelas berdasarkan motif seseorang untuk mengikuti audisi. Hal ini barangkali tidak dapat dijadikan alasan bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah atas. Dalam banyak hal, kontes ini justru membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan hal ini lah yang tidak dipertimbangkan oleh banyak orang. Dalam satu acara Mamma Mia misalnya, seorang mama mengaku membelikan sepatu bagi putrinya karena sepatu yang telah dipersiapkan sebelumnya tidak cocok dengan aksesoris yang dikenakan, dan mama tersebut mohon maaf kepada eksekutor karena baru membelikan sepatu sore hari sebelum tampil di EX Plaza Indonesia, saya bahkan sudah dapat mengira berapa harga sepatunya. Walaupun Arzetti secara tegas menolak sifat konsumtif si mama, tapi Arzetti juga memberikan pujian atas penampilan si anak yang justru dijadikan dalih pembenar oleh si mama. Jika hal ini berlaku secara umum, yakni mereka yang mengikuti kontes seperti ini berasal dari kalangan mampu, maka alasan pertama jelas tidak dapat digunakan.
Ajang pencarian bakat sebagai pelarian pun masih dapat diperdebatkan, yakni dalam wujud apa eskapisme ini dilakukan. Tentu saja kekhawatiran yang paling mungkin terjadi adalah anggapan bahwa kontes ini sebagai eskapisme dianggap mengecilkan arti pentingnya acara tersebut bagi individu pesertanya. Bagi saya, ketakutan ini sebenarnya menggelikan, mengingat saya tidak melihat signifikansi acara tersebut, baik pada tingkat individu atau masyarakat luas. Khusus untuk argumen ketiga saya, izinkan saya menantang anda untuk menyebutkan nama seluruh anggota Indonesian Idol musim pertama dan kedua, atau anggota Akademi Fantasi Indosiar musim pertama dan kedua. Saya belum pernah menemukan orang yang ingat pada kontestan tersebut saat ini, hal jauh berbeda ketika mereka sedang dalam masa keemasan. Pada musim pertama AFI, kita mengingat Veri Affandi (Veri) sebagai juara, Petrus Kia Suban (Kia) sebagai runner up pertama, dan Mawar Febra Purwanti (Mawar) sebagai runner up kedua; pada musim kedua kita mengenal Theodora Meilani Setyawati (Tia) sebagai juara, Muhammad Haykal (Haykal) sebagai runner up pertama, dan Mickey Octapatika (Mickey) sebagai runner up kedua. Indonesian Idol pun menghasilkan alumni yang cukup banyak. Di musim pertama kita mengenal Joy Tobing sebagai juara, Delon sebagai runner up pertama, dan Nania sebagai runner up kedua; sedangkan di musim kedua kita mengenal Mike sebagai juara, Judika sebagai runner up pertama, dan Gian sebagai runner up ketiga.
Persoalannya terletak pada pertanyaan yang sebenarnya klise, di mana mereka saat ini? Ajang pencarian bakat boleh jadi merupakan solusi bagi siapapun untuk memperkenalkan dirinya secara luas di masyarakat, dan ajang ini pun memberikan keuntungan besar bagi media penyelenggara acara tersebut. Media memang bertanggungjawab untuk menyelenggarakan acara tersebut hingga sukses, namun media jelas tidak bertanggungjawab atas keberlangsungan karir artis mereka di dunia hiburan. Banyak di antara peserta tersebut yang akhirnya dilupakan karena tidak lagi dianggap mampu menjual oleh media. Bahkan media selaku penyelenggara telah bertindak lebih jauh lagi. Ketika Indonesian Idol musim pertama di mulai, batas minimal usia peserta adalah 18 tahun, namun pada musim kedua batas usia malah diperpanjang menjadi minimal 16 tahun. Akibatnya mudah diduga, banyak siswa/siswi SMA yang berhasil masuk. Saat ini bahkan segmentasinya semakin luas, bukan hanya mereka yang telah remaja, namun juga mereka yang masih anak-anak.
Pertanyaan mendasar yang harus anda jawab ketika anda memutuskan untuk ‘menjadi orang terkenal’ adalah, anda ingin terkenal melalui jalur mainstream atau jalur indie? Jalur mainstream di sini merujuk pada jalur umum yang dapat dilalui semua orang dengan mengikuti proses yang sama, dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk terkenal; termasuk dalam jalur ini adalah kontes bakat dan kontes kecantikan. Jalur indie tidak lah merujuk pada indie sebagai komunitas atau ideologi (Noer 2008), namun merujuk pada proses untuk menjadi terkenal tanpa mengikuti aturan yang ada dan memiliki proses yang berbeda bagi semua orang; termasuk dalam jalur indie adalah menjadi bintang porno atau terlibat skandal dengan orang terkenal. Barangkali anda sudah terbiasa dengan mereka yang terkenal melalui jalur mainstream, tapi sadarkah anda bahwa jalur indie pun saat ini sudah banyak diminati. Terlepas dari perdebatan mengenai moral, jalur indie dalam mencapai popularitas telah menjadi gejala tersendiri yang menarik untuk dikaji lebih jauh.
Menjadi Idola dan Mitos Kecantikan
Tanpa banyak disadari oleh banyak orang, terutama oleh perempuan, media justru menjadikan ajang pencarian bakat sebagai cara ampuh untuk menyebarkan virus lain, virus yang oleh Wolf (2004) disebut sebagai mitos kecantikan. Dalam satu kesempatan, Nania pernah dikritik oleh Titi DJ mengenai proporsi tubuhnya yang dinilai tidak ideal,[2] dan Nania pun dengan senang hati akan mempertimbangkan untuk mengikuti pola diet untuk mencapai tubuh yang proporsional. Wolf pernah menyindir para perempuan yang tergila-gila untuk menjadikan tubuhnya menjadi tubuh ideal sebagai perempuan yang terjebak dalam ilusi mitos kecantikan.
Dalam kontes pencarian bakat, mitos kecantikan justru dikemas dalam kemasan yang luar biasa indah sehingga orang tanpa sadar telah jatuh ke dalamnya. Dalam kesempatan yang lain Ivan Gunawan pernah dinilai orang sebagai pria dengan sosok yang tidak ideal, atau dalam istilah lain, Ivan Gunawan terlalu gemuk, tapi jelas Ivan Gunawan tidak terlalu ambil pusing, toh dia adalah eksekutor, dia adalah juri yang diperhitungkan pendapatnya, berbeda dengan para kontestan. Kontestan Putri Indonesia dan Miss Indonesia jelas tidak ada yang memiliki tubuh tidak proporsional, semuanya mengikuti standar proporsional seorang putri sebenarnya. Hal ini lah yang dikritik oleh King-O’Riain (2008), bahwa kontes kecantikan merupakan bentuk komodifikasi dan konsumsi yang meningkat secara drastis karena tekanan pasar modal dan media, media dalam hal ini berusaha menciptakan sebuah gambaran yang sempurna seorang ratu pada sosok kontestannya. Kontes kecantikan tidak menjual 3 B (brain, beauty, and behavior) sebagaiana yang digembar-gemborkan, tapi menjual 3 B (body, body, body). Penekanan terhadap tubuh yang berlebihan pernah dibantah oleh Alya Rohali dan Angelina Sondakh, sebagai mantan Putri Indonesia, mereka menampik bahwa tubuh menentukan segalanya, tapi coba lah bertanya pada Nadine Chandrawinata, pasti iya setuju bahwa tubuh memang penting dalam kontes seperti itu.
Mitos kecantikan menjadi momok tersendiri bagi para peserta kontes, bukan hanya perempuan yang di minta untuk memiliki tubuh proporsional, laki-laki pun dituntut hal yang sama. Ketika Indonesian Idol memenangkan Mike yang bertubuh gempal sebagian pihak menyebutnya sebagai anomali. Hal ini jelas berbeda ketika Delon mengalahkan Nania yang notabene bersuara lebih merdu, atau ketika Dirly mengalahkan Ghea. Badan proporsional memang menjadi tuntutan tersendiri, dan hal ini dibuktikan dengan baik oleh Akademi Fantasi Indosiar yang peserta laki-lakinya bertubuh proporsional, meskipun beberapa memiliki wajah yang di bawah standard. Mitos kecantikan menjadikan sosok peserta sebagai bagian penting dalam industri media, terutama dalam ajang yang menjual tubuh sebagai komoditas.
Dalam banyak kesempatan wawancara, para peserta mengaku memang sengaja ‘membentuk’ tubuhnya agar sesuai dengan standar televisi, hal ini bahkan diperparah oleh pengakuan beberapa artis yang melakukan diet ketat bukan untuk alasan kesehatan, namun untuk alasan pekerjaan. Saguy dan Almeeling (2008) memberikan kritik pedas dengan menyatakan ‘epidemic obesitas’ dibentuk oleh media secara berlebihan, sehingga ketakutan manusia akan bahaya kegemukan lebih ditentukan oleh faktor media ketimbang kesehatan itu sendiri. Kritik yang sama pun pernah dilontarkan oleh Roel Pieterman (2007) yang menyatakan bahwa ‘overweight’ telah dipolitisasi secara berlebihan sehingga gambaran yang muncul justru lebih politis jika dibandingkan dengan alasan kesehatan. Media tentu saja memiliki peran penting dalam melakukan konstruksi sosial atas tubuh yang ideal. Miss Indonesia misalnya, dengan berani mengatakan “Semua mata tertuju padamu”, dan hal ini membawa pesan yang sangat jelas: kontestan harus memiliki tubuh proporsional sebab semua mata akan tertuju pada dirinya.
Marwah Daud Ibrahim (2005) pernah mengkritik pedas media yang justru mengeksploitasi perempuan sebagai seksploitasi dan sensasi sadistik dalam gambaran media. Tentu saja kritik ini bukan lah kritik pertama yang disampaikan mengenai peran media dalam mengeksploitasi perempuan, hanya saja media telah banyak berubah. Media tidak lagi mengeksploitasi perempuan – meskipun dalam banyak hal perempuan masih dianggap sebagai korban eksploitasi yang utama, namun media juga mulai mengeksploitasi laki-laki. Beberapa tahun ke belakang, barangkali mencuat juga dengan munculnya fenomena pria metroseksual, laki-laki juga dituntut untuk memperhatikan tubuhnya sama halnya dengan tuntutan yang diberikan kepada perempuan.
Ketika Air Mata Menjadi Komoditas
Media memberikan jalan yang sangat luas bagi siapapun untuk menjadi orang terkenal, tidak peduli apa jenis kelamin anda, berapa umur anda, atau bagaimana kondisi anda saat ini. Berbagai acara ajang pencarian bakat memang memberikan jalan bagi setiap orang untuk mencapai impiannya, namun bagaimana dengan mereka yang secara fisik ‘tidak sempurna?’, media pun memberikan jalan bagi orang-orang semacam ini. Pernah kah merasa tersentuh ketika melihat acara Jalinan Kasih atau Kejamnya Dunia? Media memiliki peran yang luar biasa yang membuat mereka menjadi artis mendadak dengan penampilan yang riil. Terlepas dari fakta bahwa mereka bukan lah golongan yang beruntung atau berlimpah secara materi, namun media menjadikan kisah sedih hidup mereka sebagai komoditas jual.
Air mata memang medium yang menarik sebagai salah satu komoditas jual yang luar biasa. Ketika Nania dinyatakan harus kalah dari Delon dan Joy semua pendukung Nania menangis, meskipun Nania tidak lah secara dramatis menangis berderai air mata di panggung, namun aura kesedihan memang menyeruak hebat. Indra Lesmana bahkan secara pribadi menyatakan akan membuatkan satu lagu untuk Nania, terlepas dari motif di balik tindakan tersebut, namun setidaknya Indra berusaha mengurangi kesedihan Nania. Saya bahkan terdiam ketika menyaksikan Delon menang atas Nania, dan saya pun bersimpati pada Nania. RCTI sebagai penyelenggara memang agak mendramatisir kekalahan Nania, tiba-tiba dalam waktu satu minggu Nania telah menjadi selebritis baru, dirinya masuk dalam acara infotainmen dan menjadi perbincangan banyak orang.
Hal yang sama juga terjadi ketika Mickey dari Akademi Fantasi Indosiar harus dieliminasi, seluruh penggemarnya yang notabene perempuan berteriak histeris, beberapa bahkan berderai air mata, yang parahnya justru disorot secara langsung oleh kamera. Tingkah laku penggemar yang menangis ketika jagoannya tersisih atau bahkan menang tidak hanya terjadi di Indonesia. Ketika David Cook dinyatakan sebagai pemenang American Idol mengalahkan David Archuleta, semua orang menangis, baik pendukung Cook dan Archuleta menangis, meskipun dengan alasan yang berbeda. Air mata telah berubah menjadi komoditas penting yang membuat ajang pencarian bakat lebih menarik untuk disaksikan. Saya pun menyadari betapa hambarnya acara ini jika tanpa diiringi oleh drama, air mata, dan isak tangis; justru hal ini lah yang membuat acara ini disebut reality show, sebuah acara yang mempertunjukkan realitas sebagaimana adanya.
Rasanya apa yang terjadi dengan Nania, Mickey, Davis Cook atau David Archuleta tidak jauh berbeda ketika Mbah Supiah yang menderita kanker rahim muncul dalam acara kejamnya dunia, semua yang melihat acara tersebut barangkali akan merasakan kesedihan dan memberikan simpati kepada orang tersebut. Acara Kick Andy pun pernah memberikan gambaran yang sangat baik betapa media berperan untuk membuat orang tekenal. Adalah Sugeng, seorang pembuat kaki palsu yang usahanya menjadi sangat terkenal setelah ia muncul di Kick Andy, bahkan Sugeng kini menjadi bintang iklan salah satu suplemen. Popularitas yang di dapat oleh Sugeng boleh jadi dikatakan sebagai durian runtuh, bahkan dengan popularitasnya ia dapat duduk berdampingan dengan Menteri Riset dan Teknologi juga dalam acara Kick Andy.
Media memberikan jalan bagi setiap orang untuk menjadi terkenal. Anda tidak harus mengikuti ajang pencarian bakat atau menderita penyakit tertentu, bahkan cinta dapat membuat anda terkenal. Bagi kalangan anak muda, acara yang berkaitan dengan perasaan cinta dapat menjadi cara yang ampuh untuk menjadi terkenal. Beberapa tahun yang lalu terdapat acara Katakan Cinta, acara reality show yang menunjukkan usaha seseorang untuk ‘menembak’ lawan jenisnya, menyatakan rasa cinta, dan menunggu reaksi dari orang tersebut, apakah cintanya akan diterima atau malah ditolak. Saat ini berbagai acara dengan varian yang semakin banyak mulai bermunculan. Ada segmen khusus di mana salah satu pasangan – biasanya perempuan – meminta bantuan untuk menguji pasangannya – biasanya laki-laki, acara seperti Playboy Kabel dapat dimasukkan dalam kategori ini. Ada pula segmen yang secara khusus menayangkan seseorang yang ingin kembali ‘nembak’ atau rujuk dengan mantan pasangannya, acara seperti Lemon Tea, dan CLBK dapat dimasukkan dalam kategori ini. Bahkan ada pula segmen yang secara khusus ditujukan bagi orang yang ingin mencari cinta lamanya yang tidak diketahui lagi di mana rimbanya, acara seperti Termehek-mehek dapat dimasukkan dalam kategori ini.
Media di Indonesia nampaknya tidak memiliki batasan untuk mengeksploitasi kehidupan manusia, bahkan dalam urusan yang paling privat sekalipun. Momen menyatakan cinta idealnya adalah momen romantis yang tidak perlu campur tangan media. Secara pribadi saya tidak membayangkan ketika saya harus ‘nembak’ seseorang, sedangkan di samping saya terdapat lima orang kru televisi yang membawa kamera dan lampu sorot. Cinta menjadi medium baru untuk menjadi orang terkenal, meskipun tidak jaminan bahwa penerimaan cinta yang dilakukan di depan kamera akan bertahan lama, mengingat orang yang kita ‘tembak’ pun memikirkan alasan popularitas diri, apakah ia akan menerima pernyataan cinta tersebut atau malah menolak tentu saja mempertimbangkan alasan tertentu.
Media dan Citra Popularitas
Sejauh ini saya telah banyak berbicara mengenai cara menjadi orang terkenal yang disediakan oleh media, terutama melalui jalur mainstream, yakni dengan mengikuti berbagai ajang pencarian bakat, kontes kecantikan, ajang unjuk penderitaan, bahkan dalam pernyataan cinta sekalipun. Barangkali terkecuali ajang unjuk penderitaan, semua cara tersebut dilakukan untuk satu tujuan utama: menjadi orang terkenal. Media memiliki peran yang signifikan dalam memberikan gambaran dan citra popularitas yang dapat dimiliki oleh siapa saja.
Citra popularitas yang ditunjukkan dengan sangat baik oleh media merupakan gambaran yang bias terhadap popularitas itu sendiri. Ketika setiap orang memimpikan untuk menjadi terkenal seperti Agnes Monica, maka orang ikut datang ke acara pencarian bakat dan menunjukkan talenta mereka di hadapan juri. Mereka lupa betapa kerasnya perjuangan seorang Agnes untuk mencapai popularitas seperti sekarang ini, dan media lah yang menyebabkan usaha di balik layar seorang Agnes tidak muncul. Media justru menyorot ketika Agnes sedang show dengan gaya busana yang glamor atau ketika Agnes sedang berbelanja di pusat perbelanjaan. Media dengan senang hati akan mengupas gaya hidup seorang selebritis, ketika selebritis itu membeli pakaian dengan harga yang selangit atau ketika selebritis itu sedang membeli perhiasan dengan harga yang bisa membuat jantung berhenti berdetak. Media mencitrakan popuaritas selebritis menjadi impian bagi banyak orang, sehingga banyak orang yang mengejar citra tersebut dengan melakukan berbagai cara.
Citra popularitas yang dicitrakan oleh media justru membawa implikasi yang lebih jauh di kalangan non-selebriti ketimbang di kalangan selebriti itu sendiri. Media mencitrakan betapa menyenangkan menjadi orang populer dan menunjukkan betapa konsumtifnya mereka. Celakanya orang yang tidak populer dan tidak memiliki kelebihan ekonomi turut menjadi sangat konsumtif terhadap berbagai artefak budaya modern. Ritzer (2006) menyebut konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wujud konsumsi kehampaan di era global atau ‘the globalization of nothing’. Alih-alih bergerak ke arah bentuk sosial yang riil, masyarakat justru bergerak ke arah ‘ketiadaan’, ke arah hilangnya orisinalitas menuju penyeragaman yang sentralistik dan tanpa substansi yang khas. Masyarakat mengkonsumsi berbagai hal yang seragam, makan di McDonald, belanja perhiasan di Cartier, belanja pakaian di gerai busana Matahari atau butik desainer terkenal.
Sifat konsumtif masyarakat ini pula yang dikritik oleh Baudrillard (2006). Baudrillard bahkan secara pribadi menyebut masyarakat ini dengan istilah ‘masyarakat konsumsi’. Mereka tidak lah mengkonsumsi sesuatu berdasarkan manfaat yang akan di dapat, melainkan ada citra barang itu sendiri. Media lah yang bertanggungjawab atas berkembangnya sifat konsumtif masyarakat, media mengarahkan citra suatu barang dan gaya bagi pamakainya. Tentu saja media tidaklah bertindak sendiri, dalam hal ini industri pun turut serta dalam menyebarluaskan gagasan mengenai citra barang tersebut. Kerja sama atas nama globalisasi ini lah yang mendapat perhatian serius dari Parameswaran (2008) yang secara khusus menyebutnya dengan sisi lain globalisasi. Lebih jauh, selebritis justru menjadi ujung tombak dalam penjualan barang dan citra barang tersebut. Boleh jadi slogan “Ingat Agnes, ingat New Era” akan semakin sering terdengar pada masa yang akan datang. Media mencitrakan popularitas sebagai sesuatu yang layak untuk dikejar, dan menjadikan popularitas itu sendiri sebagai bagian integral dalam proses konsumsi yang berkembang di masyarakat.
Consuming Popularity, Penutup
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia modern, media telah berubah baik dari sisi tampilan maupun tujuan penciptaan. Semula bertujuan untuk menyampaikan informasi, media telah jauh berevolusi untuk menciptakan informasi itu sendiri. Media menyediakan berbagai gambaran dan citra sosok terkenal dalam balutan gaya hidup dan perilaku konsumsi sehingga citra tersebut berkembang sebagai suatu konstruksi betapa menyenangkannya menjadi orang terkenal. Popularitas menjadi impian bagi banyak orang, dan tidak sedikit orang yang berusaha sangat keras untuk mencapai popularitas tersebut.
Ibarat pepatah lama – ada gula ada semut, dan ibarat adagium ekonomi – ada permintaan ada penawaran, begitu pula yang terjadi saat ini. Di saat setiap orang berusaha untuk mengejar popularitas, media menyediakan jalan bagi setiap orang untuk jadi populer. Popularitas seakan dapat diraih hanya dengan modal suara pas-pasan, tampang yang lumayan, badan yang proporsional, dan senyum yang memikat. Popularitas seakan dapat dicapai hanya dengan mengatakan ‘i love u’ di depan kamera televisi, atau melalui narasi kisah sedih dalam kehidupan, dengan cara telanjang di depan kamera, bahkan dengan menjadi simpanan orang terkenal. Setiap orang dapat menjadi populer dengan caranya masing-masing, dan semuanya boleh jadi berujung pada satu hal: mengkonsumsi popularitas.
Istilah ini sengaja saya buat untuk menggambarkan betapa popularitas dapat membuat jalan anda menjadi lebih mudah, dan dengan popularitas itu pula anda dapat mewujudkan sekaligus mempertahankan perilaku konsumsi anda. Lupakan adanya perdebatan moral di sekitar popularitas, setiap orang meyakini bahwa popularitas adalah tujuan akhir yang hendak dicapai, bukan lagi sebagai proses untuk menjadi. Barangkali benar apa yang dikatakan oleh teman saya dalam satu perdebatan panjang mengenai popularitas, ia berkata “being someone is being popular”, saya pun setuju bahwa “Anda terkenal maka anda ada!!”, maka tidak perlu heran jika ada orang begitu kerasnya berusaha untuk menjadi populer, terlepas apakah ia mengejar popularitas beserta seluruh atributnya, atau ia menghindari sebuah pertanyaan paling menyakitkan dalam sejarah popularitas, “Maaf, anda siapa ya?”.
Kepustakaan
Baudrillard, Jean P. 2006. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Brown, Andy R. 2008. “Popular Music Cultures, Media and Youth Consumption: Towards an Integration of Structure, Culture and Agency”, Sociology Compass (2)2:388-408
Ferris, K.erry O. 2007. “The Sociology of Celebrity”, Sociology Compass (1)1:371-384
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
Ibrahim, Marwah Daud. 2005. “Citra Perempuan dalam Media: Seksploitasi dan Sensasi Sadistik” dalam I.S. Ibrahim (ed.) Lifestyle Ecstasy, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
King-O’Riain, Rebecca Chiyoko. 2008. “Making the Perfect Queen: The Cultural Production of Identities in Beauty Pageants”, Sociology Compass (2)1:74-83
Noer, K.haerul Umam. 2008. “Against Pop Culture: Komunitas Indie dan Penolakan Terhadap Mainstream Populer”, makalah disampaikan dalam panel Pop Culture, Social Life, and Translocal Identities, 5th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia The Future of Indonesia: Sustainable Development and Local Initiatives in Post Capitalist Era, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin 22-26 Juli.
Parameswaran, Radhika. 2008. “The Other Side of Globalization: Communication, Culture, and Postcolonial Critique”, Communication, Culture & Critique (1)1:116-125
Pieterman, Roel. 2007. “The Social Construction of Fat: Care and Control in the Public Concern for Healthy Behaviour”, Sociology Compass (1)1:309-321
Priyatna-Prabasmoro, Aquarini. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra
Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing, Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Saguy, Abigail C. dan Rene Almeling. 2008. “Fat in the Fire? Science, the News Media, and the “Obesity Epidemic””, Sociological Forum (23)1:53-83
Skogster, Patrik, Varpu Uotila, dan Lauri Ojala. 2008. “From Morning to Evening: is There Variation in Shopping Behaviour Between Different Hours of the Day?”, International Journal of Consumer Studies (32)1:65-74
Wolf,
Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan.
Yogyakrta: Niagara
[1] Kajian yang cukup menarik datang dari Patrik Skogster, Varpu Uotila dan Lauri Ojala yang menemukan adanya perbedaan perilaku konsumsi di antara konsumen di pusat perbelanjaan berdasarkan perbedaan waktu, atau dalam istilah lain, terdapat perbedaan perilaku konsumen dalam belanja ketika pagi hari dan sore hari (lihat Skogster, Uotila dan Ojala 2008)
[2] Kritik yang sangat tajam pernah diberikan oleh Aquarini Priyatna-Prabasmoro terhadap tindakan sang diva ini, lihat tulisan Priyatna-Prabasmoro (2006).