Anda terkenal, maka anda ada!!

Anda ingat kalimat terkenal dari Descartes “cogito ergo sum”, di mana Descartes secara tegas menyatakan bahwa keberadaan seseorang didahului oleh tindakan berpikir. Dalam kasus yang benar-benar berbeda, Idy Subandi Ibrahim pernah berkata bahwa ‘anda bergaya maka anda ada’, jelas bahwa keberadaan seseorang ditentukan oleh gaya direpresentasikan atas apa yang dipakai oleh orang tersebut.

Saya secara berbeda mengatakan bahwa “anda terkenal maka anda ada”. Ini bukan sekedar omong kosong, saya sendiri sudah merasakan betapa menyakitkannya menjadi orang yang tidak terkenal. Dalam satu kesempatan, ketika saya sedang antri untuk memasukkan bagasi dan mendapatkan boarding pass, tiba-tiba tiga orang menyerobot barisan dan tiba-tiba berdiri di depan saya, rasanya ingin saya damprat orang-orang brengsek itu. Di antara ketiga orang itu saya mengenali salah satunya, tak lain adalah anggota DPR yang terkenal, dan saya menduga bahwa dua orang yang mendampingi adalah istri dan ajudannya. Saya heran, hak apa yang dimiliki oleh anggota dewan tersebut untuk menyerobot antrian. Bagi saya, itu menunjukkan betapa bobroknya moral anggota dewan, dengan menunjukkan bahwa dirinya orang penting maka dia merasa untuk mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari saya yang sudah mengantri lebih dari lima belas menit. Terus terang rasanya saya mendamprat, malah sempat muncul keinginan untuk menyantet anggota dewan ini, namun saya tersadar, saya bukan lah public figure yang kelewat penting sehingga harus mendapat prioritas.

Dalam kasus yang berbeda, saya pun pernah mengalami tindakan diskriminasinya oleh para aparat kepolisian terhadap diri saya. Suatu ketika, saya dan seorang teman pernah berkendara ke arah pusat perbelanjaan, namun tiba-tiba kami diminta untuk minggir dan memberikan jalan yang luas, saya pikir barangkali ada pejabat yang kebetulan lewat sehingga saya sih rela aja di suruh minggir. Ternyata yang lewat bukan pejabat, namun seorang artis sinetron. Langsung seketika saya bilang ke teman saya “Apa seh yang penting dari seorang Nicky Tirta?”, teman saya bilang “Banyak lagi. Dia itu artis sedangkan lo bukan artis, dia itu terkenal di tingkat nasional sedangkan lo terkenal cuma di tingkat RT-onal, plus dia itu cakep sedangkan lo ga cakep blas!!!”, langsung saya tonjok teman saya itu hehehehe. Kalau mau jujur, barangkali pendapat teman saya ada benarnya, bahwa seseorang baru dianggap menjadi seseorang jika orang itu terkenal. Artinya, ‘being someone’ di mata orang lain maka orang tersebut harus lah menjadi orang yang terkenal, atau setidaknya dikenal.

Saya teringat humor yang pernah dibawakan oleh Patrio, Akri pernah bilang bahwa dirinya pasti jadi orang terkenal dengan syarat setiap ketemu orang diberi kartu nama. Saya pun pernah merasakan hal yang sama, dalam bis malam perjalanan Surabaya-Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang sepanjang Tuban sampai Pati terus berbicara tentang pekerjaan dia, dan ketika dia turun di Cirebon bapak itu memberikan kartu namanya kepada saya. Pertanyaannya: apakah saya harus melakukan hal yang sama dengan bapak itu agar dapat jadi orang terkenal? Apakah tidak ada cara yang lain?

Sejujurnya ada cara lain: ikut kontes bakat. persoalannya adalah, suara saya tidak bagus, dan saya sendiri berpendapat bahwa penampilan saya tidak cocok untuk menjadi seorang bintang. Tidak berarti bahwa saya minder atas penampilan saya, namun saya sering malu sendiri jika membayangkan saya tampil di atas panggung dan saya dikomentari oleh para komentator, entah itu soal suara saya, penampilan saya, atau bahkan tubuh saya. Seorang teman pernah memberikan saran “Jadi artis bokep aja, pasti lo terkenal!!!”, dan saya pun terhenyak kaget. Sialan!!!! Masa lulusan pesantren jadi artis bokep, ga kebayang rasanya, selain adanya fakta bahwa saya tidak memiliki pengalaman seksual yang dapat dibanggakan hehehehe. Tapi pendapat teman saya jelas ada benarnya. Saya punya teman, anak tetangga kos saya yang masih SMP, dia pernah berkata bahwa di kelasnya lagi demam sosok Vebri, saya tanya “Vebri siapa?”, dan dengan santainya ia menjawab “Itu lho mas, siswi SMP dari Mojokerto yang ngeseks dengan empat orang temannya di losmen”, saya tanya balik “Ko tau kalo dia SMP?”, dia cuma tersenyum dan bilang “Ah masa mas ga ngerti, dia pake seragam SMP, udah gitu ‘boops’ [buah dada-red] belum gede banget”. Ah dan saya tersadar, bahwa menjadi terkenal rupanya tidak harus melalui jalur pop, tapi juga lewat jalur pornoaksi.

Tentu saja ini menimbulkan persoalan baru. Saya tidak ingin orang mengenal saya karena saya dieliminasi dari salah satu kontes bakat, di mana saya tidak bisa membayangkan ada orang yang ketemu saya di jalan dan bilang “Eh, kamu umam kan? Yang minggu lalu dieliminasi?”. Saya juga tidak dapat membayangkan untuk dikenal orang karena foto panas atau adegan mesra saya yang bocor ke publik, dan saya takut ada yang menyapa saya di jalan “Eh, umam ya? Foto kamu bagus lho, ko ga foto lagi?” atau “Eh lawan kamu di film itu cakep banget!” atau “Eh kapan bikin film porno lagi, udah ga sabar nunggu!!”. Saya jelas tidak dapat membayangkan betapa malunya saya jika ada orang berkata seperti itu kepada saya, meskipun sempat terbersit dalam hati, gimana rasanya jadi orang yang dikenal orang karena hal itu ya. Kontes bakat jelas bukan solusi jangka panjang. Saya pernah bertaruh dengan teman, bahwa dirinya tidak akan ingat seluruh anggota Akademi Fantasi Indosiar (AFI) baik musim pertama maupun musim kedua kurang dari dua tahun setelah musim kedua selesai, dan ternyata saya menang taruhan. Anda boleh suka dengan Veri atau Tia AFI ketika mereka masih eksis, bahkan dulu ada sinetron AFI, tapi kemana mereka sekarang? Jalur buka-bukaan pun bukan lah solusi, sebab itu melanggar norma kesusilaan dan aturan hukum.

Memikirkan bagaimana caranya agar jadi orang terkenal rupanya cukup membuat saya bingung, bukan memikirkan bagaimana jalannya, namun lebih tepat bagaimana menjadi orang terkenal tanpa merusak integritas saya. Cie…seakan-akan saya punya integritas tinggi. Tapi itu persoalan pokok. Di satu sisi saya sering jengkel karena banyak hak saya diserobot hanya karena saya tidak terkenal, di sisi yang lain saya justru menikmati ketidakterkenalan diri saya. Saya tidak suka pergi ke mana dengan membawa bodyguard karena takut di kejar penggemar, saya juga tidak suka tampil sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap polisi akibat foto panas saya atau dikejar-kejar tante atau om girang karena menganggap saya sebagai gigolo. Tapi ah, biarlah saya tidak terkenal meskipun saya banyak di zalimi, namun setidaknya saya masih ruang untuk diri saya sendiri.