Majelis taklim dan upaya pemenuhan hak reproduksi, mungkinkah?

Hak reproduksi, merupakan bagian penting dari hak-hak yang dimiliki oleh perempuan. Secara formal, hak-hak reproduksi di dukung sepenuhnya oleh International Conference on Population and Development (ICPD) yang diselenggarakan di Kairo pada September 1994. Hak ini juga mendapat perhatian dalam konvensi PBB mengenai ‘Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan’ (Convention on the Elimination and Discrimination Against Women [CEDAW]).

Hak-hak reproduksi, atau lebih tepatnya kesehatan reproduksi, jika merujuk pada ICPD, mencakup pada proses, fungsi dan sistem reproduksi yang berkaitan erat dengan kondisi sehat secara fisik, psikis, dan sosial, dan hal ini berlaku bagi semua orang, terlepas apakah dia laki-laki atau perempuan. Tentu saja berbagai isu mengenai hak-hak reproduksi menjadi sangat krusial untuk di bahas. Hak-hak reproduksi tidak melulu berkait dengan organ reproduksi, namun juga membahas mengenai kondisi-kondisi yang terkait dengan reproduksi. Termasuk di dalam hak-hak reproduksi adalah hak untuk menikmati hubungan seksual, hak untuk cuti reproduksi, dan hak atas informasi dan kesehatan reproduksi.

Begitu pentingnya mengenai hak-hak reproduksi, maka pelanggaran terhadap hak-hak reproduksi (seharusnya) di anggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan setiap orang yang melanggar hak ini (seharusnya) di hukum dengan hukuman yang setimpal. Hak-hak reproduksi tidak hanya berlaku bagi laki-laki, namun juga (dan terutama sekali) untuk perempuan. Sangat disayangkan, bahwa hak-hak reproduksi kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik Indonesia.

Pembahasan mengenai hak-hak reproduksi sangat jarang muncul di tingkat nasional, di tingkat yang paling tinggi. Tidak ada sejarahnya lembaga negara mau berkutat pada masalah hak-hak reproduksi, pun akan di bahas, masalah tersebut hanya akan dibahas oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Kesehatan, itu pun jika tidak isu besar lain yang muncul. Pembicaraan mengenai hak-hak reproduksi, meskipun dalam bentuk derivasi yang paling umum: hak dan kewajiban antara suami dan istri, lebih banyak dilakukan pada suatu majelis pengajian, atau yang lebih dikenal dengan majelis taklim. Majelis taklim cukup banyak membahas mengenai hak dan kewajiban suami istri, termasuk di dalamnya (kadang) hak-hak reproduksi.

Posisi Majelis Taklim

Persoalan krusial dalam perbincangan mengenai majelis taklim adalah posisi majelis taklim yang cenderung menyudutkan perempuan. Harus di akui, di Indonesia sendiri setidaknya memiliki dua tipe majelis taklim: majelis taklim yang dikhususkan bagi laki-laki, dan majelis taklim yang dikhususkan bagi perempuan. Sebenarnya masih terdapat satu tipe lagi: majelis taklim yang dihadiri baik oleh laki-laki maupun perempuan, hanya saja, dalam tipe ini, kaum bapak lah yang ‘menguasai’ arah pembicaraan sekaligus menjadi aktor utama dalam pembahasan dalam pengajian. Jika dilihat dari metode yang digunakan dalam majelis taklim, maka terdapat tiga metode yang sangat umum: Pertama, metode satu arah pasif dimana para peserta hanya berfungsi sebagai pendengar pasif tanpa memiliki hak untuk bertanya. Kedua, metode satu arah aktif, dimana para peserta mendengarkan dan memiliki hak untuk bertanya. Ketiga, metode dua arah, dimana para peserta dapat secara aktif bertanya. Metode pertama dan kedua lebih pada ceramah, sedangkan metode ketiga lebih pada diskusi. Pada metode pertama, umumnya para pendengar hanya tidak memiliki bahan ajar, atau para penceramah umumnya berbicara secara spontan dan tidak terstruktur. Pada metode kedua, para pendengar umumnya memiliki bahan ajar dan penceramah berbicara secara terstruktur sesuai dengan materi, namun bisa jadi seperti metode pertama. Pada metode ketiga, para pendengar – dapat dipastikan – memiliki bahan ajar dan penceramah berbicara secara terstruktur, ciri lain dari metode ketiga adalah jumlah peserta yang datang tidak terlalu banyak.

Sekurang-kurangnya terdapat empat tujuan umum dari penyelenggaraan majelis taklim: (1) sebagai wadah untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragama, (2) taman rekreasi rohaniah, (3) wadah silaturrahmi yang menghidupsuburkan syiar Islam, dan (4) media penyampaian gagasan-gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan ummat dan bangsa Indonesia.[1]

Harus di akui, selama ini majelis taklim, terutama majelis taklim kaum ibu (perempuan), kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak yang peduli terhadap isu-isu gender. Selama ini majelis taklim dianggap tidak lebih dari perpanjangan tangan elite agama Islam yang selama ini berkutat di pondok pesantren. Para elite agama Islam, apakah itu kiai maupun ulama terlihat kurang mengeksplorasi masalah-masalah perempuan. Masalah perempuan tidak lebih dari sekedar perbincangan yang tidak serius dan terlontar sebagai humor (beberapa sangat porno dan menyudutkan) di berbagai pengajian, terutama yang banyak di hadiri oleh kaum bapak (laki-laki).

Dalam berbagai pengajian, masalah perempuan memang jarang dibahas, setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa perempuan jarang dibahas. Pertama, berbagai kitab kuning yang digunakan dalam pengajian tidak membahas mengenai isu-isu yang berkaitan dengan perempuan, pun dibahas, tidak jarang kitab tersebut cenderung meyudutkan posisi perempuan. Kedua, pembahasan mengenai perempuan lebih pada pembahasan terhadap kewajiban bukan pada hak yang dimiliki perempuan.

Pertanyaan yang paling serius terlontar, barangkali, adalah “Bagaimana istri saya dapat menjadi istri yang dicita-citakan oleh Islam?”, atau “Bagaimana cara memperlakukan dan mendidik istri secara Islami?”. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang muncul cenderung sangat seksis dan memarginalkan perempuan. Perempuan tidak lebih dari sekedar kanca wingking, tidak lebih dari seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Seorang perempuan tidak hanya dituntut untuk menjadi ‘istri yang baik’ sekaligus juga menjadi ‘ibu teladan’, seorang perempuan harus ‘hebat’ dalam urusan dapur maupun kasur, dan lain sebagainya.

Persoalan mengenai perempuan tidak dibahas secara serius dalam berbagai kitab yang dipergunakan di berbagai majelis taklim. Lihat saja karangan an Nawawi misalnya,[2] sangat laris digunakan di berbagai majelis taklim meskipun isi kitab tersebut sangat menyudutkan perempuan (atau lebih tepatnya istri). Berbagai kitab kuning yang dipergunakan di berbagai majelis taklim memang tidak mempertimbangkan berbagai persoalan yang menyangkut ‘muamalah’[3], bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sosialnya, termasuk di dalamnya adalah ‘munakahat’ yang membahas mengenai isu-isu perkawinan dan hak-hak reproduksi. Majelis taklim lebih menekankan pada masalah ‘ubudiyah’, masalah-masalah yang berhubungan erat dengan fiqih dan hukum Islam. Barangkali asumsi dasar yang dipergunakan adalah, jika seseorang paham tentang hukum Islam, maka orang tersebut akan mampu berinteraksi sesuai dengan ajaran Islam.

Kitab Kuning dan Reposisi Majelis Taklim

Melihat berbagai persoalan di atas, maka sangat penting untuk mempertimbangkan kembali posisi majelis taklim. Perkembangan majelis taklim saat ini memang sudah memperlihatkan suatu pergerakan ke arah yang lebih baik, setidaknya jika dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Majelis taklim, terutama sekali adalah majelis taklim kaum ibu. Terkait erat dengan reposisi majelis taklim adalah penggunaan kitab kuning sebagai bahan ajar yang digunakan. Kitab kuning memiliki posisi yang sangat krusial, tidak hanya sebagai bahan ajar dan ciri penting dari sistem pendidikan di pondok pesantren, kitab kuning juga merambah di berbagai majelis taklim, baik untuk kaum bapak maupun kaum ibu.

Kitab kuning menjadi pembahasan yang menarik apabila dilihat dari berbagai materi dan isu yang dibawa. Pada saat ini, sangat banyak kajian yang membahas mengenai kitab kuning, dimulai dari kajian biasa yang mempelajari isi dari kitab kuning, hingga kajian yang mencoba mengkritisi isi kitab kuning. Kitab-kitab tafsir, hadis dan fiqih adalah kitab-kitab yang selalu mendapatkan sorotan dalam setiap kajian keislaman, hal ini tentunya tidak mengherankan, mengingat pada materi-materi ini lah Islam sebagai ajaran dipahami, diinterpretasi dan diajarkan. Pertanyaan paling mendasar dalam kajian-kajian keislaman – terutama kajian yang mencoba mengkritisi isi dari kitab kuning – adalah sejauhmana relevansi kitab-kitab tersebut, mengingat bahwa kitab-kitab tersebut umumnya ditulis ratusan tahun yang lalu. Kitab-kitab tafsir al Quran kembali dipertanyakan relevansinya, demikian pula kitab-kitab yang membahas mengenai hadis. Hadis misalnya, saat ini dipertanyakan relevansinya, dengan menggunakan berbagai sudut pandang, apakah hadis tersebut masih dapat diamalkan saat ini, atau hanya sebagai romantisme masa lalu yang patut diabadikan.[4]

Pembahasan mengenai kitab kuning menjadi sangat ambigu, mengingat pembahasan isi dari kitab kuning – terutama materi tafsir al Quran, hadis dan fiqih – selalu berada di daerah privat, ketiga materi ini menjadi monopoli sebagian orang sehingga tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap kitab tersebut. Persoalan ini sebenarnya masalah yang klasik, dan telah menjadi wacana pesantren yang berlarut-larut. Berbagai teks klasik, apakah itu tafsir al Quran, hadis ataupun fiqih akhirnya dibawa ke ruang-ruang publik, dalam hal ini dalam kelompok pengajian agama atau majelis taklim. Bagi Arimbi,[5] masuknya pembahasan kitab kuning ke wilayah publik dapat diartikan sebagai dua hal: (1) hal ini menunjukkan adanya tuntutan atas akses terhadap teks klasik yang lebih luas, tidak hanya menjadi monopoli sebagian elite agama saja, dan (2) hal ini menunjukkan adanya perlawanan dari kelompok-kelompok (dalam hal ini perempuan) atas monopoli teks klasik oleh golongan tertentu (dalam hal ini laki-laki).

Pembahasan mengenai kitab kuning, terutama yang membahas mengenai perempuan, sudah mulai banyak dilakukan di berbagai pengajian di majelis taklim. Barangkali terlalu simplistis jika dikatakan bahwa perkembangan isu yang ‘beredar’ di majelis taklim adalah pergerakan perlawanan terhadap mainstream issue, yakni pada masalah ‘ubudiyah’ maupun ‘jinayah’, namun setidaknya hal ini menjadi momentum awal dari adanya perubahan di majelis taklim.

Merayakan Hak Reproduksi Perempuan

Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduknya memeluk Islam seringkali menjadi suatu barometer atas gambaran agama Islam, demikian pula dalam masalah gender. Hal ini diakui oleh Bennett bahwa kaum perempuan di Indonesia menikmati hak-hak yang tidak dapat dinikmati oleh perempuan muslim di negara-negara lainnya.[6] Meskipun demikian, tidak berarti bahwa perempuan muslim di Indonesia memiliki nasib yang jauh lebih baik dibandingkan perempuan muslim lainnya.

Perbincangan mengenai hak-hak reproduksi, terutama jika dilihat dari perspektif ulama sudah dibahas dengan sangat baik oleh Hamdanah,[7] terutama pandangan ulama perempuan. Hamdanah sendiri mengakui, bahwa pandangan ulama perempuan yang mendukung terhadap pemenuhan hak reproduksi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pendidikan. Pandangan mengenai hak-hak reproduksi juga di dukung oleh suatu kondisi yang memungkinkan perempuan mampu mempertahankan hak tersebut, yakni adanya suatu kondisi dimana perempuan memiliki posisi tawar yang memungkinkan dan pengetahuan perempuan mengenai hak-hak tersebut.

Persoalan paling mendasar dari pemenuhan hak-hak reproduksi adalah ketidaktahuan perempuan mengenai hak-hak tersebut, dimana banyak perempuan yang tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak yang terkait dengan reproduksi. Persoalan lainnya adalah, barangkali perempuan tersebut mengetahui bahwa mereka memiliki hak reproduksi, namun terbentur pada pandangan agama dan kuatnya hegemoni patriarki. Agama dalam hal ini dapat menjadi benteng yang sangat kuat dalam menahan arus informasi mengenai hak-hak reproduksi. Atas nama agama perempuan diharuskan untuk diam meskipun hak-haknya dilanggar, meskipun itu hak-hak reproduksi. Agama seringkali menjadi suatu penghalang bagi perbaikan posisi subordinasi perempuan, agama juga digunakan sebagai alat pemaksa keduabelah pihak untuk menerima peran-peran yang diharapkan, sehingga masing-masing pihak tidak menemukan pilihan lain kecuali menuruti ‘peran-peran’ yang memang tersedia untuk mereka; meskipun dalam pembagian peran tersebut, pihak laki-laki selalu ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan.[8]

Terkait dengan hal ini lah, posisi majelis taklim menjadi sangat krusial dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Majelis taklim menjadi pemain kunci dari dibukanya perbincangan mengenai kitab kuning di ruang-ruang publik, dimana umumnya pembahasan mengenai kitab kuning hanya di ruang-ruang privat. Tentu saja hal ini senada dengan yang di isyaratkan oleh Bennett, bahwa interpretasi atas ajaran agama harus menyentuh pada tingkat terendah, yakni pada tingkat komunitas, keluarga, bahkan diri pribadi, dan bukan hanya tataran argumen teologis para elite. Hal yang justu menarik adalah kemampuan para ‘perempuan modern indonesia’ untuk melibatkan diri secara kritis dan positif untuk mengakuan dan perlindungan terhadap perempuan. Jika melihat konteks yang dikemukakan oleh Bennett, pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikatakan mulai ‘menjamur’ ketika argumentasi teologis justru di buka di ruang-ruang publik, dan salah satu aktor penting dari adanya pergerakan ini adalah majelis taklim.

Begitu pentingnya posisi majelis taklim, sehingga laju dan gerak perubahan, terutama yang terkait dengan masalah perkawinan dan hak reproduksi menjadi sangat signifikan. Saat ini para ibu majelis taklim tidak lagi risih ketika harus berbicara mengenai kesehatan reproduksi maupun hak-hak reproduksi. Harus di akui pula, fenomena ini pun masih merupakan fenomena yang bersifat kontestatif, yakni keberadaannya masih dapat diperdebatkan. Apakah keberanian para ibu untuk berbicara mengenai hak reproduksi di muka umum adalah suatu bentuk konkret dari perubahan yang terjadi sebagai akibat dari model majelis taklim yang cenderung bicara blak-blakan mengenai hak reproduksi atau justru hanya fenomena semu yang ada di masyarakat saat ini.

Saya sendiri cenderung berasumsi bahwa pembicaraan mengenai hak-hak reproduksi di ruang-ruang publik, terutama di majelis taklim, akan mendorong terciptanya suatu kondisi, dimana ‘larangan’ untuk membicarakan hak reproduksi akan memudar, dan setiap orang dapat dengan bebas membicarakan mengenai hak tersebut. Tentu saja terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sekedar berbicara mengenai hak reproduksi dengan pelaksanaan dan pemenuhan hak tersebut di masyarakat, namun setidaknya pemenuhan atas hak reproduksi bisa di mulai dengan membicarakan hak tersebut di muka umum.

Sekurang-kurangnya terdapat dua peran utama yang dapat dilakukan oleh majelis taklim dalam mensosialisasikan hak-hak reproduksi yang dimiliki oleh perempuan. Pertama, penggunaan berbagai kitab yang tidak bias gender. Hal ini sangat penting, mengingat pembicaraan dalam majelis taklim, terutama majelis taklim yang bersifat reguler umumnya mengacu pada suatu kitab yang dijadikan sebagai bahan ajar. Ketika bahan ajar yang digunakan merupakan bahan ajar yang bias gender, maka dapat dipastikan pembahasan mengenai kitab tersebut akan sangat seksis dan menyudutkan perempuan. Tentu saja hal ini dapat di lawan dengan menggunakan model argumentatif, dimana kitab yang di ajarkan tidak dipandang sebagai kitab yang kaku dan bebas kritik, kitab tersebut harus di bahas dengan membandingkan dengan kitab lain yang tidak bias gender. Konsekuensi logis dari adanya usaha untuk membandingkan isi kitab adalah waktu yang sangat panjang dan penjelasan yang njelimet. Harus di ingat, bahwa dalam majelis taklim, durasi adalah point penting, tentu saja para ibu yang datang tidak mau mendengarkan ceramah yang berlangsung selama seharian penuh, karena mereka merasa ‘harus’ memasak dan mengerjakan pekerjaan domestik lainnya yang dibebankan kepada mereka. Boleh jadi majelis taklim adalah pelarian sementara dari segala macam pekerjaan domestik, namun menjadi sangat jelas, bahwa dalam majelis taklim pun, aura patriarki sangat jelas terlihat.

Kedua, membuka perbincangan mengenai hak reproduksi secara terang, jelas dan mendetail. Point ini akan lebih mudah terselenggara jika kondisi pada point sebelumnya sudah memungkinkan. Para penceramah umumnya membahas sesuai dengan materi yang tersedia, maka untuk mengadakan perbincangan secara jelas harus disertakan dengan berbagai contoh, dan untuk memberikan contoh harus sesuai dengan materi yang di berikan. Ketika sedang berbicara mengenai fiqih munakahat misalnya, seorang penceramah dapat memasukkan contoh dan aplikasi mengenai hak reproduksi. Ketika sedang membahas mengenai Q.S. Al Baqarah:187 misalnya, seorang penceramah dapat memberikan contoh, bahwa Allah berfirman bahwa istri adalah pakaian (libas) bagi suami, dan suami adalah pakaian bagi istri (hunna libasun lahum, wa antum libasun lahum), hal ini dapat dilanjutkan dengan pembahasan mengenai hak-hak reproduksi perempuan, seperti hak untuk menikmati hubungan seksual, jika suami merasa ‘berkewajiban’ untuk menikmati hubungan seksual, maka istri pun (harusnya) ‘berkewajiban’ untuk merasakan hal yang sama, bukan kah antara dan istri adalah pakaian bagi masing-masing pasangannya, dan lain-lain.

Perbincangan mengenai hak reproduksi di majelis taklim pun bukan lah yang mustahil untuk dilakukan, mengingat cukup banyak majelis taklim yang memang giat membahas hal tersebut. Persoalannya tidak terletak pada kesiapan majelis taklim, terutama majelis taklim kaum ibu, untuk membahas mengenai hak-hak tersebut. persoalannya justru terletak pada para suami yang ‘membiarkan’ istrinya menghadiri majelis taklim tersebut. Persoalannya tidak terletak pada semakin banyaknya perempuan yang memiliki kemampuan dalam bidang agama Islam yang mumpuni dan mau berbicara blak-blakan mengenai hak reproduksi, persoalan utama justru terletak pada elite agama Islam yang berjenis kelamin laki-laki, apakah mereka siap menghadapi terjangan pada ‘elite agama baru’ yang justru membawa semangat keagamaan baru.

Varian baru elite agama yang justru mendukung pemenuhan hak-hak reproduksi tidak lah muncul secara tiba-tiba, jelas gerakan yang muncul di berbagai majelis taklim bersifat historis, bukan ahistoris sebagaimana yang di tuduhkan oleh berbagai pihak. Secara sederhana, tujuan yang hendak dicapai oleh majelis taklim dalam membincangkan berbagai isu perempuan adalah untuk memberikan sumbangsih secara langsung kepada agama dan bangsa (bagi saya tentu ada tujuan lain: perlawanan gerilya terhadap posisi elite agama yang berjenis kelamin laki-laki). Posisi majelis taklim yang sangat unik dalam perbincangan mengenai hak reproduksi juga dapat dipandang sebagai suatu kekuatan, sehingga pemenuhan mengenai hak-hak tersebut akan dapat dilakukan.

Posisi unik majelis taklim, terutama majelis taklim yang dikhususkan bagi perempuan (meskipun tidak menutup kemungkinan bagi majelis taklim untuk laki-laki), terletak pada kemampuan majelis taklim sebagai penyebar pengetahuan mengenai hak-hak reproduksi sekaligus menjadi pendobrak atas stagnasi yang ada di masyarakat. Adalah penting untuk mengingat, bahwa majelis taklim merupakan salah satu institusi pendidikan yang berada di luar sistem sosial, dengan demikian majelis taklim tidak seharusnya terikat pada suatu kondisi yang malah menyudutkan perempuan. Majelis taklim juga merupakan institusi keagamaan yang bertugas memberikan pengetahuan mengenai berbagai masalah keagamaan bagi masyarakat luas, dengan demikian, tidak seharusnya majelis taklim hanya membatasi diri hanya pada masalah ubudiyah saja, atau hanya pada masalah jinayah saja, namun harus melingkupi keseluruhan masalah yang ada.

Majelis taklim, merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai suatu kumpulan orang-orang yang tidak membatasi diri pada golongan atau pun suku, posisi majelis taklim menjadi sangat penting dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Majelis taklim dapat menjadi ‘makelar budaya’, dimana majelis taklim dapat menjadi agen yang mensosialisasikan berbagai isu yang berhubungan erat dengan perempuan, termasuk di dalamnya adalah hak-hak reproduksi. Majelis taklim dapat menjadi jawaban yang paling sederhana sekaligus paling menantang dalam mensosialisasikan hak-hak reproduksi, terutama jika dibandingkan ‘institusi’ keagamaan lainnya. Fluiditas yang dimiliki oleh majelis taklim jelas merupakan keuntungan tersendiri, dimana majelis taklim dapat berjalan mengikuti arus atau justru melawan arus.

Majelis taklim jelas memiliki posisi yang unik dan menguntungkan. Di satu sisi, majelis taklim adalah salah satu bagian dalam ‘intitusi’ keagamaan, dengan demikian majelis taklim memiliki hak untuk mengajarkan sekaligus menginterpretasi ajaran agama Islam. Di sisi yang lain, sebagai suatu wadah sosial, majelis taklim dapat menggantikan peran pemerintah (jika memang tidak mampu) untuk mensosialisasi berbagai hal yang terkait dengan perempuan, termasuk di dalamnya adalah hak reproduksi. Sebagai elite agama baru, para penceramah di berbagai majelis taklim harus mampu memberikan ‘pencerahan’ mengenai hak-hak reproduksi yang dimiliki oleh perempuan. Majelis taklim harus mampu berperan lebih banyak dalam mengajarkan perempuan mengenai berbagai hak yang mereka miliki, tentunya dengan menyandarkan pada dalil-dalil keagamaan.

Posisi ini memang pelik, dimana berbagai interpretasi ajaran Islam lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, dengan demikian terbuka kesempatan yang sangat luas bagi terjadinya interpretasi yang menyudutkan perempuan. Namun demikian, tidak berarti seluruh kitab yang ada penuh muatan bias gender, toh masih ada juga kitab-kitab yang memberikan pencerahan mengenai masalah ini. Hal ini lah yang harus dilakukan oleh elite majelis taklim, bahwa mereka harus memberikan pengetahuan sekaligus mengajarkan ajaran agama Islam. Tujuan utama dari hal ini tidak lain adalah membentuk masyarakat yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan, jika hal ini dapat terwujud, maka majelis taklim dapat menjadi guru dimana seluruh elemen yang berhubungan dengan masyarakat dapat belajar padanya, dan bersama kita merayakan hak reproduksi tanpa harus khawatir mengenai masa depan.


[1] “Majelis Taklim”. 1994. Ensiklopedi Islam Jilid 3. Jakarta:PT Ichtiar Baru van Hoeve

[2] Muhammad bin Umar an Nawawi. ‘Syarah Uqudul Lujayn fii Bayani Huquuq az Zaujain’. 2000. Jakarta: Pustaka Amani

[3] Sekurang-kurangnya terdapat empat cabang utama dalam fiqih atau hukum Islam: (1) ubudiyah yang membahas mengenai masalah-masalah ibadah, (2) muamalah yang membahas mengenai masalah-masalah pergaulan, (3) munakahat yang membahas mengenai masalah-masalah yang terkait dengan perkawinan, bagian ini seringkali dimasukkan dalam ‘muamalah’, dan (4) jinayah yang membahas mengenai masalah-masalah yang terkait dengan hukum pidana

[4] Lihat Ahmad Fudhaili. 2005. Perempuan di Lembaran Suci, Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih. Yogyakarta: Pilar Media

[5] Diah Ariani Arimbi. 2004. “When Private Becomes Public: The Case of Islamic Prayer Groups in Indonesia”. Mozaik 2(2):33-42

[6] Linda Rae Bennett. 2005. “Indonesian Women, Reproductive Rights and Islam”, Antropologi Indonesia 29(1):28-37

[7] Hamdanah. 2005. Musim Kawin di Musim Kemarau, Studi Atas Pandangan Ulama Perempuan Jember Tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Yogyakarta: Bigraf

[8] Siti R. Dzuhayatin. 2003. “Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi Perempuan dalam Islam” dalam Irwan Abdullah (ed.) Sangkan Paran Gender. Cetakan kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Khaerul Umam Noer

Ketua Departemen Riset Islam, Sejarah dan Sosial di Nuruttaqwa Institute di Bekasi. Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Intelektual Santri di Pondok Pesantren Attaqwa Putri Bekasi. Pemerhati masalah gender dan Islam.

Alamat: Pondok Pesantren Attaqwa Putri, Ds. Bahagia, Kec. Babelan, Kab. Bekasi. 17612. Telp. 62 21 891 322 51 /        62 81 546 246 686  / 62 85 959 777 572. email umam_noer@yahoo.com