Pancasila: masihkah sesakti dahulu?

Tanggal 1 Juni kita peringati sebagai hari kelahiran Pancasila, dasar negara Republik Indonesia. Apa yang harus kita renungkan terkait dengan peringatan kelahiran Pancasila akan menjadi fokus tulisan ini. tulisan ini merupakan ringkasan dari paper yang pernah saya tulis mengenai Pancasila dan Multikulturalisme yang bersumber dari seminar tersebut.

Pada tanggal 24 Mei 2006 telah diselenggarakan Seminar Nasional “Pendekatan Multikulturalisme untuk Memperkuat Ke-Bhinekaaan dalam Diskursus Pancasila” mengambil tempat di Aula Fajar Notonegoro, Fakultas Ekonomi UNAIR; diselenggarakan atas prakarsa FISIP UNAIR, FISIP UBAYA, Lembaga Kajian Pemberdayaan Regional (LKPR), dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Seminar ini dilakukan dengan dua sesi: sesi pertama tampil Mohammad Noor Syam, Moeslim Abdurrahman, dan Hendardi; sesi kedua tampil Mochtar Pabotinggi, Todung Mulya Lubis dan Daniel T. Sparringa.

Seminar ini mengambil tema yang agak luar biasa, menurut saya, mengingat bahwa pembicaraan mengenai Pancasila sudah tidak lagi menarik dan intens, terkecuali pada saat kuliah ‘Pancasila dan Kewarganegaraan’ yang selalu dipenuhi oleh para mahasiswa, hal ini tentu karena wajib untuk diambil; dan sangat mungkin jika tidak diwajibkan hanya mahasiswa ilmu politik dan mahasiswa yang kekurangan SKS yang akan mengambil matakuliah tersebut. Pancasila, semenarik apapun pembahasannya, telah disaingi oleh diskusi mengenai multikulturalisme; meskipun dalam seminar ini, Pancasila selalu dijadikan pondasi bagi adanya multikulturalisme di Indonesia yang kaya akan budaya. Resume ini tidak membahas semua materi yang diberikan, justru sebagai pandangan pribadi atas masalah Pancasila dan multikulturalisme yang dikemukakan oleh para ahli dalam seminar tersebut.

Multikulturalisme: Menuju Indonesia yang lebih baik?

Multikulturalisme secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai suatu paham, suatu –isme yang tidak jauh berbeda dengan isme-isme lainnya seperti pluralisme dan lain-lain, di mana paham tersebut menekankan pada adanya perbedaan dalam masyarakat, bahwa masyarakat adalah sekumpulan orang-orang yang tinggal dalam suatu lingkungan tertentu dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda, tentunya lingkungan yang heterogen ini membutuhkan suatu ‘konsensus’ bersama, bahwa berbagai perbedaan hendaknya tidak dijadikan alat untuk memicu konflik di antara mereka, ya win-win solution lah!. Multikulturalisme dan semangat yang dibawa adalah suatu semangat yang menekankan harmoni pada perbedaan, sebagaimana yang selalu dipegang oleh Garuda Pancasila, yakni Bhineka Tunggal Ika. Hal ini lah yang coba dibahas dalam seminar ini, bahwa multikulturalisme adalah pengejawantahan dari konsep besar Pancasila, dengan demikian, multikulturalisme sebenarnya bukan barang baru, karena sejak jaman klasik multikulturalisme sudah melekat pada bangsa ini. Para founding fathers pun menyadari sepenuhnya betapa multikulturalisme menjadi sangat penting untuk dipahami dan diimplementasikan dengan seksama – dan mungkin – dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Multikulturalisme sebagai other face dari Bhineka Tunggal Ika adalah suatu bentuk yang khas, di mana persatuan dilihat sebagai suatu gabungan dari berbagai perbedaan, atau dalam istilah yang lebih keren ‘Unity in Diversity’.

Unity in Diversity atau Bhineka Tunggal Ika – bagi saya – tidak lebih dari suatu ideologi yang dimasukkan oleh negara guna mengontrol penduduknya yang memiliki berbagai latar budaya yang berbeda. Negara telah membius penduduknya, bahwa perbedaan yang ada harusnya menjadi suatu kondisi di mana ketahanan negara dan – terutama sekali – persatuan masyarakat adalah suatu keharusan, dengan demikian, Bhineka Tunggal Ika mengharuskan berbagai masyarakat dalam berbagai latar budaya sedapat mungkin menghindari sikap etnosentris demi persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Mungkinkah multikulturalisme dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik? Baik Moeslim Abdurrahman, Hendardi, Daniel Sparringa dan Todung Mulya Lubis meyakini bahwa multikulturalisme harus dipahami secara baik dan benar, dalam artian setiap orang sedapat mungkin menghindari sikap-sikap etnosentris (termasuk didalamnya egosentris dan religiosentris), hal ini dimaksudkan agar terjadi suatu equilibrium dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Moeslim Abdurrahman misalnya, mengetengahkan tema “Islam dan multikulturalisme” menyatakan bahwa Islam sebagai agama telah melakukan akulturasi dengan sangat baik dengan berbagai budaya lokal, hasilnya adalah, bahwa Islam menjadi model yang representatif atas pandangan multikulturalisme, karena Islam di Indonesia telah menjadi bagian dari corak-corak budaya lokal. Dalam hal ini, masyarakat tidak lagi membedakan antara Islam dan budaya lokal yang mereka miliki, atau dengan kata lain, Islam telah menjadi model dari Unity in Diversity dalam multikulturalisme sebagai wujud pengejawantahannya. Namun demikian, Abdurrahman mengingatkan, bahwa dalam konteks akidah agama-agama besar, agama dan kepercayaan lokal adalah obyek dan bukan subyek yang setara. Dengan demikian, akulturasi tidak menghilangkan superioritas agama besar atas agama lokal. Konsepsi agama dan tradisi dapat di implementasikan dalam pembicaraan mengenai multikulturalisme di Indonesia. Di Indonesia yang begitu menghormati multikulturalisme sebagai way of life, atau mungkin saya terlalu berani menganggap seperti itu, toleransi adalah segalanya. Segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan konsensus bersama. Tidak boleh ada orang yang terlalu mengagungkan suku-nya dan merendahkan suku lainnya, setiap orang harus saling hormat-menghormati, saling menjaga perasaan, dan sedapat mungkin memendam ego-ego pribadi dan golongannya, pun dikeluarkan, sedapat mungkin melalui cara-cara yang begitu halus atau menjauhi metode-metode frontal. Bagi saya, multikulturalisme semacam itu terdengar sangat Jawa, atau mungkin Jawanisasi justru menjadi model utama dalam multikulturalisme, sangat disayangkan saya belum mendengar ada pembicara yang mendiskusikan hal tersebut; multikulturalisme a la Jawa atau dengan model-model lainnya, setidaknya menekankan akan pentingnya kebersamaan dalam gerak kehidupan.

Cukup menarik tawaran Daniel T. Sparringa atas makna multikulturalisme. Multikulturalisme menurutnya merujuk pada dua hal yang berbeda namun seringkali dipahami secara bersamaan, yakni (a) realitas dan praktik, atau (b) etika dan ajaran. Pada pengertian yang pertama, jelas bahwa multikulturalisme adalah suatu realita empiris, di mana pembauran berbagai latar belakang budaya dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan, hal ini jelas membawa pada implikasi selanjutnya, yakni pada pengertian yang kedua, bagaimana etika untuk menyikapi berbagai perbedaan tersebut, yakni multikulturalisme merujuk pada spirit, etos dan kepercayaan bagaimana unit-unit budaya yang relatif otonom harus berbagi tempat dan dikelola dengan baik di ruang-ruang publik. Dengan demikian, jika setiap orang mengerti dan ‘menjalani’ multikulturalisme dengan baik dan benar, harusnya Indonesia dapat dibawa pada tingkat yang lebih baik, namun mampukah kita melaksakan gagasan besar tersebut? Terus terang saya tidak tahu.

Pancasila: Masihkah se-sakti seperti dahulu?

Izinkan saya memulai bagian ini dari pertanyaan, atau lebih tepatnya kegundahan, seorang dosen matakuliah ‘Pancasila dan Kewarganegaraan’ atas semakin hilangnya Pancasila dari kampus-kampus di Indonesia. Bagi saya, kegundahan ini berarti dua hal, pertama, dosen tersebut khawatir jika suatu saat kampus besar seperti Unair akan kehilangan “Pancasila” sebagai simbol; dan kedua, dosen tersebut khawatir akan hilangnya Pancasila sebagai wacana.

Alasan pertama, bahwa Pancasila semakin hilang di kampus-kampus dapat dipahami, bahkan di Unair sendiri, Pancasila (saya cenderung dalam bentuk simbol burung garuda) semakin sulit ditemukan. Burung Garuda Pancasila di Unair harus bersaing tempat dengan Burung Garuda Wisnu Kencana yang lebih besar dan menakutkan, dan bagi saya Garuda Wisnu Kencana pasti akan menang, selain memiliki tangan dan kaki, juga karena membawa kendi Amerta. Sebetulnya saya ingin menekankan bahwa secara kasat mata, Pancasila memang sudah mulai punah. Pasca kejatuhan Orde Baru, seakan kita alergi melihat berbagai artefak khas rezim tersebut, sehingga kita akan lebih memilih menempatkan artefak-artefak tersebut dalam ruang privat, pun di ruang publik, jumlahnya amat terbatas. Meskipun penempatan di ruang privat dengan dalih menjaga ‘sakralitas’ ataupun sekedar ‘formalitas’, sehingga hanya diletakkan di aula atau di kantor Dekan, kita seakan malu menempatkan gambar burung Garuda Pancasila di ruang-ruang publik. Sepengetahuan saya, tidak ada fakultas yang mau memasang gambar burung Garuda persis di atas pintu masuk atau langsung terlihat di pintu masuk utama atau pintu masuk lainnya, ataupun memasang gambar tersebut di setiap ruang kuliah. Hal ini bagi saya menarik, karena pada waktu seminar, setiap pembicara begitu semangat memaparkan Pancasila sebagai ideologi yang harus dipertahankan demi eksistensi bangsa ini, namun tidak ada yang begitu serius melihatnya dalam bentuk-bentuk simbolisme yang nyata dan riil. Saya rasa, semakin punahnya garuda Pancasila dalam ruang-ruang publik merupakan suatu pertanda, suatu gambaran bahwa kondisi burung garuda sedang kronis, sekarat, dan mendekati ajal. Mungkin terlalu berlebihan jika melihat ketiadaan burung garuda diterjemahkan sebagai hilangnya nasionalisme sebagai warga negara; namun hal tersebut setidaknya menjadi suatu awal, bahwa semakin langkanya gambar burung garuda dapat menjadi suatu pertanda bahwa mungkin saja nasionalisme warga negara sudah semakin hilang, hal ini terkait dengan alasan kedua.

Alasan kedua, kegundahan dosen tersebut sebenarnya mudah dipahami. Satu-satunya alasan kuliah ‘Pancasila dan Kewarganegaraan’ diambil oleh mahasiswa adalah karena matakuliah tersebut adalah Matakuliah Pengembangan Kepribadian atau matakuliah wajib universitas (nasional); tidak perduli apakah itu mahasiswa kedokteran, MIPA, farmasi, hukum, ekonomi ataupun sosial-politik, semuanya wajib mengambil kuliah tersebut. Akibatnya adalah, banyak mahasiswa yang mengambil kuliah tersebut hanya sebagai ‘menjalankan kewajiban’ universitas, belum menjadi ‘suatu kebutuhan dari seorang warga negara yang baik’.  Pancasila tidak lagi menjadi topik yang hangat untuk diperdebatkan, bukan berarti orang-orang sudah bosan membicarakan topik tersebut, namun ada topik-topik yang lebih menarik untuk dibicarakan, seperti kemiskinan, pelacuran dll. Pancasila pun tidak lagi menarik untuk didiskusikan di berbagai tempat, bukan karena tidak ada tempat yang cocok, hanya saja kebanyakan mahasiswa dan pelajar enggan bicara topik tersebut di tempat-tempat umum. Mereka lebih menyukai topik yang lebih ringan, lebih riil, dan lebih menyenangkan untuk dibahas; bahkan saya yakin, para dosen-dosen sekalipun akan enggan jika membahas topik ini, terkecuali dosen-dosen yang aktivis ataupun pengajar matakuliah ‘Pancasila dan Kewarganegaraan’.

Pancasila tidak lagi se-sakti yang dulu, namun sisa-sisa peninggalannya masih ada dan masih layak untuk dibahas dan diperbincangkan. Ketika saya mengikuti seminar tersebut, saya merasakan adanya ‘aura orde baru’ dalam realitas yang benar-benar baru. Setiap pembicara begitu menekankan pentingnya Pancasila sebagai bentuk ideologi yang harus pertahankan, lihat saja makalah Todung Mulya Lubis dan Mohammad Noor Syam; mereka begitu berapi-api menjelaskan konsepsi Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pancasila meskipun tidak se-sakti atau bahkan se-sakral dahulu, tetap menjadi bagian integral dari bangsa ini, terkecuali ada yang mengganti maskot burung garuda dengan burung atau bentuk-bentuk lain; demikian pula multikulturalisme.

Penutup: Dari Multikulturalisme ke Pancasila

Berawal dari multikulturalisme, apakah itu dipandang sebagai realitas empiris ataupun dipandang sebagai ajaran, semuanya bermula dari satu hal, yakni adanya suatu kondisi di mana pembauran berbagai etnis dengan berbagai latar belakang budaya adalah hal yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri. Semua ini membawa pada implikasi yang lebih serius, yakni perlu adanya suatu mekanisme untuk mengatur ke-multikultur-an yang ada di Indonesia, dan dalam hal ini, negara memiliki kemampuan yang lebih sehingga dapat mengelola masyarakat yang multikultur.

Adalah mengherankan jika negara berbaik hati mengelola multikulturalisme tanpa didukung oleh sistem dan mekanisme yang mendukung. Dalam hal ini, saya cenderung melihat Pancasila sebagai ideologi yang oleh para founding fathers dianggap paling sesuai dengan keinginan dan tentunya kepentingan pada saat itu. Pancasila dalam kaitannya dengan multikulturalisme harus diletakkan pada posisi yang benar, yakni posisi yang tidak menjadikan satu pihak lebih benar dari pihak lainnya. Sebagaimana disinggung oleh Lubis, bahwa perbincangan ini dimulai dengan dua alasan, pertama sebagai kelanjutan dari proses dekonstruksi dan desakralisasi berbagai lembaga negara; dan kedua, seiring dengan proses demokratisasi juga berlangsung proses pengeroposan paham konstitusionalisme; dengan demikian, harusnya ada kaitan yang erat antara multikulturalisme dan Pancasila. Multikulturalisme secara nyata menolak adanya penyeragaman budaya, di mana anggapan bahwa budaya yang berbeda akan mengganggu pembentukan dan stabilitas negara kesatuan sehingga segala bentuk perbedaan harus dieliminir bahkan dilenyapkan. Semangat multikulturalisme sebenarnya mengajak kita untuk melihat bahwa berbagai perbedaan yang ada harusnya dianggap sebagai aset dan pondasi dalam pembentukan negara kesatuan, dengan demikian, multikulturalisme menjadi kata kunci dalam bernegara. Pancasila dalam hal ini adalah suatu akar dari ideologi negara, dan Pancasila harus menjamin bahwa semangat multikulturalisme tidak memudar; demikian pula multikulturalisme yang harus menjamin bahwa perbedaan adalah berkah yang tersembunyi yang dapat menjamin terciptanya kondisi persatuan bangsa. Jadi antara multikulturalisme dan Pancasila sebenarnya saling mengisi satu sama lain. Apakah mungkin terjadi dikotomi antara keduanya? Lagi-lagi saya tidak tahu.