Nasionalisme a la baru: Pseudo-nationalism atau Urban Nationalism?

Alkisah, pada hari jumat (23.05.08) saya menerima undangan untuk datang ke acara diskusi di sebuah acara yang diselenggarrakan oleh sebuah LSM di daerah saya pada hari minggu (25.05.08) untuk membicarakan mengenai satu hal yang paling happening tahun ini: nasionalisme kebangsaan.

Syaa pikir, wah tema yang hebat. Namun ternyata jauh panggang dari api, harapan saya jelas merupakan kesia-siaan. Ketika saya datang diskusi sudah terjadi, dan para peserta pun sudah terbagi dalam dua faksi. Satu kelompok memandang bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan ‘pure nationalism’ atau nasionalisme murni, apa yang ada saat ini tidak jauh berbeda dengan semangat yang dulu di bawa oleh Boedi Oetomo pada tahun 1908, lupakan perdebatan apakah Boedi Oetomo merupakan organisasi yang menjadi tiang pancang gerakan nasionalisme di Indonesia, pertanyaannya adalah: apa ukuran yang digunakan sehingga dapat dikatakan bahwa semangat nasionalisme saat ini sama (atau setidaknya tidak jauh berbeda) dengan yang terjadi seratus tahun yang lalu? Buat saya, kelompok ini jelas naif. Nasionalisme saat ini jika mau menggunakan takaran yang dikemukakan oleh teman saya, jelas tidak masuk akal jika kita bertengkar soal nasionalisme sambil makan siang di McDonald, kan aneh! Meskipun anggapan tersebut jelas merupakan reduksi dari persoalan sesungguhnya. Kelompok yang lain menganggap bahwa nasionalisme yang mencuat saat ini lebih pada ‘capital nationalism’, nasionalisme yang bertujuan mencari keuntungan. Argumentasinya sederhana, momen nasionalisme lebih ditekankan pada industri pariwisata, ya ujung-ujungnya duit. Bagi saya, jelas ini pun tidak masuk akal, bahwa persoalan nasionalisme dikaitkan dengan pendapatan barangkali hal yang paling menggelikan yang pernah saya dengar.

Bayangkan, bahwa kedua kelompok ini melakukan debat kusir selama satu jam tanpa jalan keluar. Akhirnya karena saya sudah terlalu kesal, saya melakukan interupsi dengan mengajukan jalan tengah, bahwa nasionalisme yang ada jelas bukan ‘pure nationalism’ karena itu mimpi di siang bolong, dan bukan pula ‘capital nationalism’ karena itu menafikan unsur di luar materi. Maka saya mengetangahkan satu jalur, bahwa nasionalisme yang ada saat ini adalah ‘pseudo nationalism’, suatu nasionalisme semu. Argumentasinya sederhana, nasionalisme yang muncul saat ini memang mewujud dalam perilaku dan pikiran orang Indonesia, namun toh hal tersebut tidak lebih dari fatamorgana, suatu ilusi optik belaka. Barangkali anda akan menyebut saya sebagai orang yang pesimistis, namun setidaknya perhatikan argumentasi saya dengan seksama.

Saya beranggapan bahwa pseudo nationalism muncul dalam dua aspek penting: mirror-nationalism dan urban-nationalism. Apakah anda melihat pertandingan ketika tim Uber Indonesia mengalahkan Jepang 4-1? Saya yakin anda begitu bersemangatnya, sama seperti saya, apalagi ketika akhirnya tim Uber berhasil maju ke Final, walaupun kalah dari Cina, saya yakin terbersit dalam diri anda suatu semangat kebangsaan. Itu yang saya sebut dengan ‘mirror-nationalism’ atau nasionalisme cermin. Istilah ini memang bukan barang baru, namun saya adaptasi dari istilah kedokteran, yakni mirror-neuron. Dalam sel otak anda terdapat mirror-neuron yang menjadikan diri anda begitu bersemangat ketika anda melihat sepak bola atau tinju, demikian pula nasionalisme. Ketika anda melihat tim Uber atau Thomas sedang bermain, seakan-akan anda lah yang sedang bermain sehingga semangat si pemain ikut anda rasakan pula, itu merupakan mirror-neuron, sedangkan ketika Indonesia memperoleh nilai atau tim lawan memperolah nilai, maka semangat kebangsaan anda akan melonjak seiring dengan lonjakan semangat kebangsaan orang-orang di sekitar anda, dan itu yang saya sebut dengan mirror-nationalism, bahwa nasionalisme yang ada saat ini merupakan refleksi dari nasionalisme orang kebanyakan, jika tidak mau dikatakan nasionalisme ikut-ikutan.

Urban nasionalisme barangkali lebih mudah di mengerti. Coba anda bayangkan, ini kisah nyata, dua orang perempuan kelas menengah dan seorang laki-laki sedang berjalan di sebuah mall besar di Jakarta, perempuan yang satu mengenakan blazer rancangan Prada, sepatu Jimmy Choo dan perhiasan Bvlgari; perempuan yang satunya memakai atasan dari Ramli, celana panjang Dior, sepatu Dolce and Gabbana, tas dari Louis Vuitton, dan perhiasan dari Cartier; sedangkan yang laki-laki mengenakan celana dan kemeja dari The Executive, jam tangan Bvlgari, dan sepatu dari Yongky Komaladi. Mereka bertiga dalam misi mencari sebuah cincin pertunangan, si laki-laki mengajak agar mencari di Felice atau Cartier, dan di sebuah gerai Bvlgari, si perempuan bertanya pada pegawai toko, “Mbak, ada cincin yang desainnya etnik tradisional ga?”. Contoh lain, beberapa waktu yang lalu Musa Widiatmodjo menggelar fashion show, dalam undangannya terdapat dress code: glamorous Indonesia, apa yang anda bayangkan? Kemungkinan besar anda membayangkan batik atau tenun ikat tradsional berpadu dengan perhiasan yang mewah, dan tebakan anda sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fakta yang ada, bahwa sebagian besar yang datang dalam pagelaran tersebut memang menggunakan batik atau kain songket dan tenun ikat. Apa yang sebenarnya ingin saya katakan adalah, bahwa dua contoh di atas memberikan gambaran bahwa nasionalisme yang muncul di permukaan adalah urban nationalism atau nasionalisme kaum urban. Semangat yang muncul ditandai dengan kemampuan para kaum urban perkotaan untuk mengkoleksi berbagai benda budaya yang adiluhung dengan harga selangit untuk menunjukkan nasionalisme mereka. Boleh saja Musa, Anne Avantie, Iwan Tirta, maupun Ramli menggelar fashion show dengan tajuk budaya Indonesia yang mengeksplorasi berbagai kain nusantara, tapi yang bisa menggunakan rancangan mereka hanya lah orang dengan kantong tebal dan tidak ragu mengeluarkan uang tujuh digit untuk membeli barang-barang tersebut.

Orang biasa jelas tidak mampu membeli barang begituan, di samping fakta bahwa orang biasa lebih memfokuskan pada usaha untuk membuat dapur mereka tetap mengepul. Pertanyaannya, dengan cara apa orang biasa dapat menunjukkan semangat nasionalisme kebangsaan? Barangkali kalau mirror nationalism bisa saja, tapi kalau untuk tipe urban nationalism, hm… jelas tidak mungkin, anda setuju?