Perempuan dan pornografi, plus agama

Perdebatan mengenai pornografi dan pornoaksi semakin mengemuka, terutama kecaman atas terbitnya majalah “khusus laki-laki”, Playboy laris manis dipasaran. Ditengah perdebatan mengenai pornografi dan pornoaksi, yang semakin membesar lantaran keinginan pemerintah untuk membuat Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, peperangan antara dua kubu akhirnya meletus. Setiap pihak mengeluarkan pendapatnya dan mengecam pihak lawan, sehingga masing-masing pihak ‘seakan’ berdiri pada posisi yang “benar” menurut versinya.

Pornografi secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah gambaran yang “dapat membangkitkan syahwat”, sedangkan pornoaksi merupakan segala tindakan yang juga “dapat membangkitkan syahwat”. Hal ini menjadi pendapat awal dari kubu anti pornografi. Pendapat ini seakan menjadi sangat dominan ketikan mengemuka sebuah usulan untuk membuat suatu perundang-undangan yang khusus mengatur masalah pornografi dan pornoaksi, demi melindungi moral generasi muda dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Keinginan pemerintah ini jelas disambut gembira, terutama oleh para tokoh dan elite-elite keagamaan. Seakan telah menjadi kodrat alam, setiap ada pihak yang pro, mesti ada pihak yang kontra, demikian pula dalam kasus RUU ini. Pihak-pihak yang menolak Undang-Undang ini umumnya meneriakkan bahwa RUU ini mengatur apa yang seharusnya tidak diatur, yakni kebebasan individu. Kebebasan individu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang untuk mengekspresikan dirinya, sekaligus menjadi penanda bahwa dirinya ada dan berbeda dengan orang lain, tentu saja hal ini bukan sekedar masalah moral, namun pada hak dan kebebasan.

RUU APP: Dimana Perempuan

Sudah menjadi rahasia umum, setiap kebijakan atau hampir semua kebijakan pemerintah tidak pernah memperhatikan masalah gender, terutama masuknya hak-hak kaum perempuan. Perempuan selalu dalam posisi marginal dan tidak diuntungkan dalam kebijakan-kebijakan tersebut, apakah itu kebijakan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Perempuan adalah korban abadi dari hegemoni yang dimiliki oleh pemerintah, yang entah bagaimana selalu merepresentasikan dirinya sebagai laki-laki, sekalipun pemerintahan pernah dipegang oleh perempuan.

Representasi merupakan hal penting dalam memahami posisi masing-masing pihak, dan anehnya, representasi laki-laki yang paling besar mungkin berwujud sebagai suatu lembaga yang legal dan formal bernama: pemerintah. Kebijakan yang tidak sadar gender juga muncul dalam Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP). Rancangan ini ditenggarai bias gender, dimana pihak perempuan lagi-lagi ditempatkan sebagai korban atas hegemoni kaum laki-laki, perempuan merupakan korban atas eksploitasi nafsu laki-laki, dan perempuan adalah korban langsung atas undang-undang ini.

Perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya harus melindungi hak seluruh warga negara Indonesia, tanpa kecuali perempuan. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh ‘se-enak udel-nya’ membuat peraturan, harus ada pertimbangan untuk memasukkan seluruh suara dan aspirasi seluruh komponen masyarakat, memang bukan tugas yang mudah, namun sebagai pemilik kekuasaan, saya rasa hal tersebut dapat dilakukan. RUU-APP yang diperbincangkan oleh banyak pihak harus merepresentasikan seluruh komponen masyarakat, tanpa melihat agama, suku bangsa, dan jenis kelamin, namun lagi-lagi dimana posisi perempuan?

RUU-APP: Refleksi Agama?

Pada hari Jum’at tanggal 30 Juni 2006, bertempat di Masjid Nuruzzaman, Universitas Airlangga, seorang khatib shalat Jum’at mengecam dengan tanpa tedeng aling-aling kepada pihak-pihak yang menolak RUU-APP sebagai “pihak yang telah disesatkan oleh syaitan, sehingga harus bertaubat dan kembali ke jalan yang benar dan diridhai oleh Allah”. Sungguh momentum yang sangat aneh, mengingat bahwa kampus harusnya menjadi suatu area medan budaya (cultural sphere), dimana semua pihak harusnya mampu memperhatikan posisi masing-masing, namun kecaman secara tegas diatas mimbar masjid dalam suatu seremonial yang amat penting menjadi agak janggal dan menjadikan suasana agak kurang menyenangkan.

RUU-APP bagi sebagian pihak merupakan representasi atas masuknya pengaruh agama dalam sistem perpolitikan Indonesia. Harus diakui, sejak masa klasik, Indonesia telah terpengaruh sedemikian rupa oleh agama, sehingga hampir setiap sendi kehidupan masyarakat, agama menjadi bagian yang penting dan krusial – meskipun agama bukanlah kebutuhan primer, namun agama memberikan nuansa tersendiri dalam sistem sosial dan politik di Indonesia. Adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dengan demikian, diantara agama-agama lain yang berkembang di Indonesia, Islam memiliki pengaruh yang paling besar dan signifikan.

Berbagai latar belakang budaya di Indonesia menjadikan Agama Islam menjadi salah satu pilar utama, sebut saja Minangkabau, Betawi, Gorontalo dan lainnya. Islam menjadi bagian tak terpisahkan dalam struktur sosial kemasyarakatan, dan dengannya masyarakat meletakkan persatuan mereka. Islam tidak hanya disebarkan sebagai dimensi religius-transendental, dimana setiap individu yang mengaku beragama Islam beribadah menurut ajaran Islam; namun juga Islam disebarkan melalui berbagai teks-teks yang ditulis oleh para ulama terdahulu, yang kitab-kitabnya masih digunakan sebagai rujukan penting dalam masalah-masalah keagamaan, berbagai teks-teks klasik menawarkan berbagai ide mengenai masalah gender yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Isu Gender dalam Teks Keagamaan

Berbagai teks klasik berupa kitab kuning memberikan pengetahuan pada kita mengenai berbagai isu mengenai gender; namun isu yang sebenarnya paling menarik adalah keterlibatan perempuan dalam penafsiran teks-teks klasik. Perempuan acapkali tidak dilibatkan dalam menafsirkan teks-teks klasik, sehingga kepentingan perempuan seringkali tidak diakomodir. Hegemoni patriarkhi masih dianggap sangat kuat mencengkeram setiap sendi kehidupan masyarakat, relasi yang kemudian muncul lebih pada perendahan martabat perempuan yang merupakan kesalahan dalam penterjemahan ajaran dan perintah-perintah agama Islam([1]); berbagai bentuk perlakuan subordinasi perempuan masih sering dilakukan dan seakan mendapat legitimasi dari elite-elite agama.

Banyak cara yang dapat digunakan dalam memperbaiki posisi perempuan, salah satunya adalah pelibatan perempuan dalam menafsirkan teks-teks keagamaan, dengan demikian berbagai teks yang ada tidak didominasi oleh laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap teks-teks keagamaan memberikan peluang yang lebih besar bagi laki-laki untuk memasukkan kepentingannya dalam proses penafsiran teks-teks keagamaan. Berbagai isu mengenai gender acapkali terbentur pada penafsiran, terutama penafsiran al Quran dan al Hadist. Untuk memahami hubungan antara Islam dan masalah gender terkait erat dengan bagaimana al Quran ditafsirkan pada tingkat komunitas, keluarga dan individu; dengan demikian, interpretasi al Quran, al Hadist dan berbagai teks-teks keagamaan tidak hanya pada tingkat elite keagamaan, namun harus pada level yang lebih rendah([2]).

Tidak saja dilibatkan, perempuan juga harus diikutsertakan dengan aktif dalam berbagai forum yang membahas mengenai teks-teks keagamaan. Cukup banyak bukti dimana teks-teks keagamaan, apakah itu al Quran (dan terutama) al Hadist dijadikan sebagai pondasi utama marginalisasi terhadap perempuan. Adalah penting untuk melakukan interpretasi yang seimbang dalam kontekstualisasi hadist Nabi Muhammad SAW, terutama dalam menafsikan hadist-hadist misogini([3]). Dominasi laki-laki berawal dari pemahaman gender yang tereduksi, dimana lembaga-lembaga keagamaan disinyalir memiliki peranan yang penting dalam melegitimasi budaya patriarkal. Penafsiran teks-teks keagamaan, dalam hal ini hadist nabawi, dengan demikian sebisa mungkin menjauhkan diri dari dominasi laki-laki dan melibatkan perempuan dalam penafsirannya. Teologi feminisme merupakan gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan pemahaman keagamaan yang bias kelelakian, dekonstruksi ini bertujuan untuk menghapus patriarki dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender ([4]).

Interpretasi ajaran Islam merupakan salah satu masalah yang cukup memiliki posisi signifikan dalam kajian gender dalam Islam. Kajian  berbagai teks-teks keagamaan seringkali menjadi kajian yang dilakukan secara tertutup dan tanpa campurtangan perempuan([5]). Berbagai cara yang kemudian diambil dalam memperbaiki posisi perempuan adalah melakukan kajian teks secara terbuka diruang publik, hal ini jelas telah dilakukan oleh berbagai kelompok pengajian, dimana berbagai hal yang sifatnya privat telah dibicarakan diruang publik. Pembicaraan diruang publik tidak lagi dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran, namun juga dimaksudkan sebagai bentuk-bentuk baru perlawanan terhadap dominasi laki-laki atas teks-teks keagamaan sekaligus memberikan ruang yang lebih leluasa bagi perempuan.

Bias gender dalam penafsiran teks-teks keagamaan umumnya terjadi justru dikalangan mufassir([6]). dimana para mufassir tersebut telah mensosialisasikan nilai-nilai yang mensubordinatkan perempuan dibawah kekuasaan laki-laki. Laki-laki dalam penafsiran teks-teks al Quran telah ditempatkan sebagai superior vis a vis perempuan yang ditempatkan pada posisi yang inferior, posisi ini tentunya seakan dilandaskan atas perintah agama. Berbagai kritik muncul tidak hanya pada masalah penafsiran teks-teks keagamaan yang tidak melibatkan perempuan, namun juga pada penggunaan berbagai teks klasik yang bias gender dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kitab klasik yang mendapat kritik keras adalah kitab ‘Uqud al Lujayn fi bayan ḥuquq az zaujain karangan Muḥamad Nawawi ibn `Umar. Kitab tersebut banyak membahas mengenai hak dan kewajiban suami-istri dan relasi gender antara keduanya. Kritik terhadap kitab ini datang dari Forum Kajian Kitab Kuning([7]), dimana forum ini melihat bahwa berbagai teks klasik harus diletakkan pada posisi historis, dalam artian bahwa penterjemahan kitab kuning harus melihat keadaan sosial dan budaya masyarakatnya. Adanya analisis kritis terhadap kitab ini – dan berbagai kitab lain – diharapkan mampu memperoleh penafsiran teks keagamaan yang tidak bias gender dan misoginis, dan terutama adalah menempatkan perempuan pada posisi yang lebih baik; meskipun dalam berbagai hal, kontekstualisasi kitab kuning agak sulit dilakukan.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduknya memeluk Islam seringkali menjadi suatu barometer atas gambaran agama Islam, demikian pula dalam masalah gender. Hal ini di akui oleh Bennett (2005) bahwa kaum perempuan di Indonesia menikmati hak-hak yang tidak dapat dinimati oleh perempuan muslim di negara-negara lainnya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa perempuan muslim di Indonesia memiliki nasib yang jauh lebih baik dibandingkan perempuan muslim lainnya. Agama seringkali menjadi suatu penghalang bagi perbaikan posisi subordinasi perempuan, agama juga digunakan sebagai alat pemaksa keduabelah pihak untuk menerima peran-peran yang diharapkan, sehingga masing-masing pihak tidak menemukan pilihan lain kecuali menuruti ‘peran-peran’ yang memang tersedia untuk mereka([8]); meskipun dalam pembagian peran tersebut, pihak laki-laki selalu ditempatkan pada posisi yang menguntungkan

Meninjau Ulang Teks Keagamaan

Teks-teks keagamaan, disatu sisi menjadi suatu pedoman penting dalam penyelenggaraan kehidupan beragama; dan disisi lain menjadi batu sandungan yang serius dalam usaha perbaikan posisi perempuan. Dalam masalah pornografi dan pornoaksi, teks-teks keagamaan memberikan pandangan yang rata-rata serupa: semua perempuan dilarang keras (diharamkan) untuk mempertontonkan auratnya kepada orang yang bukan mahram-nya. Semua ulama sepakat mengenai masalah ini, tidak ada keraguan bahwa perempuan menjadi aktor yang penting dalam penghentian proses-proses pembangkitan hawa nafsu.

Logikanya sebenarnya sederhana, jika semua perempuan menutup auratnya, maka pornografi dan pornoaksi secara otomatis tidak ada, dan tidak perlu ada kekhawatiran atas kemerosotan moral bangsa ini. Benarkah demikian? Terus terang saya sangat meragukan hal ini. Seorang teman pernah berkata “seekor kucing tidak akan mengambil ikan yang terbungkus dengan rapi dan tidak ‘tergeletak’ dipinggir jalan”; namun lagi-lagi saya meragukan hal tersebut, jika saya adalah kucing tersebut, bukankah tidak mungkin jika saya tetap mengambil ikan tersebut atau mencari ladang ikan lainnya?

Berbagai teks keagamaan secara nyata memang menjadikan perempuan sebagai pihak yang dirugikan, terutama jika melihat kitab-kitab yang sangat bias gender, kitab Uqudul Lujain misalnya. Perempuan dianggap sebagai pihak pasif yang dapat dimanipulasi sesuai dengan kepentingan laki-laki. Berbagai kitab tafsir yang digunakan di pesantren, mulai kitab paling standard seperti Tafsir Jalalain hingga yang agak tinggi seperti Tafsir Qurthubi, menjadikan perempuan sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab atas “pergerakan moralitas bangsa”. Perempuan menjadi agen yang penting dalam perkembangan dan kehidupan bangsa, namun disisi lain, pergerakan perempuan sangat terbatas, nyaris hanya disekitar dapur, sumur dan kasur.

Agak aneh melihat kenyataan bahwa secara ideal, Islam menjadikan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Dalam berbagai kajian mengenai perempuan dalam Islam seringkali terbentur pada posisi perempuan dalam hukum Islam, dimana dalam memahami hukum terhadap perempuan harus dilakukan kajian komparatif-historis antara hak asasi perempuan pra-Islam dan hak-hak baru yang disyariatkan oleh Islam([9]). Secara ideal, Islam memang memberikan posisi tawar yang menguntungkan bagi perempuan, namun pada kontekstualisasinya, berbagai penafsiran teks-teks agama di kuasai oleh ulama yang umumnya dikonotasikan pada laki-laki, adanya contradictio in terminis akan makna ulama telah dibahas dengan cukup rinci oleh Azra([10]).

Posisi perempuan dalam berbagai teks keagamaan memang cukup dilematis, jika disatu sisi ia merupakan tulang punggung, bahkan dinyatakan bahwa “Syurga berada dibawah telapak kaki ibu”; namun pernyataan tersebut disisi yang lain justru menyudutkan perempuan dalam suatu kondisi, dimana mereka tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan. Sulit bagi perempuan untuk mendapatkan win-win solution, terutama jika teks-teks keagamaan dikuasai oleh laki-laki. Akses yang dimiliki oleh perempuan pun dapat dikatakan sangat sedikit, terutama jika melihat betapa sedikitnya pondok pesantren yang mengkhususkan diri dalam mendidik perempuan dan memberikan akses yang leluasa bagi perempuan terhadap teks-teks keagamaan.

Perbaikan posisi perempuan harusnya menjadi suatu agenda yang penting, salah satu cara yang paling efektif adalah pendidikan agama dan keterbukaan akses terhadap teks-teks keagamaan; atau langkah yang agak radikal adalah menafsirkan kembali berbagai teks keagamaan tentunya dengan memperhatikan konteks yang ada pada saat ini – terus terang saya ragu akan hal ini. Teks keagamaan memiliki posisi yang signifikan, hanya sayangnya kebanyakan dari teks-teks keagamaan cenderung bersikap misoginis dan menutup diri dari campur-tangan perempuan.

Teks-teks keagaman tidak selalu mempertimbangkan posisi laki-laki sebagai salah satu konsumen dari pornografi dan pornoaksi. Lihatlah kasus majalah Playboy, tidak menjadi persoalan jika kantor pusat majalah tersebut pindah dari Jakarta ke Bali atau daerah lainnya, bahkan jika kantor tersebut pindah ke Gunung Jaya Wijaya konsumen akan dapat dengan mudah membeli majalah tersebut. Persoalan sesungguhnya dari angan-angan pemerintah untuk menciptakan UU-APP adalah untuk menjaga moral bangsa, dan pemerintah nampaknya tidak menyadari bahwa majalah tersebut dapat diakses oleh semua orang dari berbagai tingkatan usia dan ekonomi.

RUU-APP menempatkan perempuan sebagai ‘aktor’ yang akan segera ditangkap dan diadili karena menunjukkan sensualitas dan seksualitasnya; demikian pula teks agama, yang akan segera menunjuk perempuan yang mempertontonkan tubuhnya sebagai bahan bakar api neraka. Baik RUU-APP maupun teks-teks agama tidak melihat dari segi konsumennya, sebab bagaimanapun setiap produksi barang selalu akan melihat pasar. Tanpa adanya konsumen, buat apa memproduksi barang, hanya membuang modal dan waktu. Teks agama lebih menekankan setiap laki-laki untuk dapat menahan pandangannya (ghaddul bashar) ketimbang memerintahkan laki-laki untuk menjauhi segala bentuk pornografi dan pornoaksi.

Salah satu penekanan yang ingin saya sampaikan adalah, baik pemerintah dengan RUU-APP, maupun para elite keagamaan dengan teks-teks keagamaannya tidak melihat masalah secara proporsional. Setiap aspek harusnya diikutsertakan dalam pembahasan, entah itu perundang-undangan maupun penafsiran teks-teks keagamaan. Setiap keputusan yang diambil secara parsial hanya akan menimbulkan kontroversi dan kesia-siaan belaka. RUU-APP dan elite keagamaan (dengan dukungan teks-teks keagamaan tentunya) hanya sibuk menjadikan perempuan – lagi-lagi – sebagai objek, dan ‘sedikit’ melupakan laki-laki sebagai konsumen.

Pornografi dan pornoaksi bukan hanya masalah moralitas, namun juga masalah kebebasan. Bagaimanapun tidak ada jaminan bahwa RUU-APP akan menjaga moralitas bangsa ini, sebagaimana tidak ada jaminan bahwa ketiadaan RUU ini moralitas bangsa akan menjadi semakin terpuruk. Semua pihak, baik yang pro maupun yang kontra adalah pihak-pihak yang berkepentingan terhadap RUU ini, mungkin kita harus sepakat untuk tidak sepakat mengenai masalah ini. Namun satu hal yang segera disepakati, bahwa perempuan harus diberikan hak dan kebebasan terhadap akses berbagai teks-teks keagamaan dan proses pembentukan perundang-undangan. Kaum laki-laki diharapkan untuk menunjukkan sikap sebagai seorang ‘gentlemen’ dengan legowo memberikan kesempatan pada perempuan, dengan demikian detidaknya tercipta suatu kondisi equilibrium, dimana baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan akses yang sama terhadap teks-teks keagamaan dan proses pembentukan perundang-undangan. Setidaknya dengan adanya akses terhadap dua hal tersebut, perempuan dapat memperbaiki nasibnya dan memposisikan dirinya, tidak lagi sebagai korban yang mudah dimanipulasi; namun sebagai aktor dan subjek utama yang membuat dunia berputar disekeliling mereka.


[1] Lihat Najlah Naqiyah “Otonomi Perempuan”, 2005. Malang: Bayu Media Publishing; lihat juga Musdah Mulia “Kekerasan terhadap Perempuan (mencari akar kekerasan dalam teologi)” dan Huzaemah Tahido Yanggo “Paradigma Islam tentang Wanita” dalam Tutty Alawiyah AS (ed.) Women in Islam: Past, Present, Future, 2002. Jakarta: BKMT bekerjasama dengan Universitas Islam Asy Syafi’iyah dan International Moslem Women Union (IMWU).

[2] Lihat Linda Rae Bennett “Indonesian Women, Reproduction Rights and Islam” dalam Jurnal Antropologi Indonesia (29) 1. hlm. 28-37. Mengenai hak-hak reproduksi dan Islam, terutama menurut pandangan ulama perempuan dan laki-laki telah dikaji dengan sangat baik oleh Hamdanah “Musim Kawin di Musim Kemarau: Pandangan Ulama Perempuan Jember Tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan”, 2005. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

[3] Hadist Misogini dalam khazanah kritik hadist Nabi dimaksudkan sebagai hadist-hadist yang membenci perempuan, seperti hadist yang melarang perempuan menjadi pemimpin, terdapat dalam Kitab ai Bukhari (1981:97) yang diterjemahkan “telah bercerita kepada kami Uṡman bin al Haitṡam, telah bercerita kepada kami `Auf dari al Ḥasan dari Abu Bakrah berkata: Sungguh Allah memberi manfaat kepada ku sebuah kalimat pada hari (perang) Jamal. Tatkala Nabi mendengar orang-orang Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin, maka Beliau bersabda: tidaklah sekali-kali suatu kaum memperoleh kemakmuran, apabila menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” (HR. Bukhari). Keterangan lebih lanjut silahkan baca Kadarusman (2005).

[4] Lihat Kadarusman “Agama, Relasi Gender & Feminisme”, 2005. Yogyakarta: Kreasi Wacana

[5] Lihat Diah Ariani Arimbi “When Private Becomes Public: the Case of Islamic Prayer Group in Indonesia” dalam Mozaik (2) 2. hlm. 33-41.

[6] Mufassir adalah orang yang memiliki kemampuan dalam menafisrkan al Quran, lihat Zaitunah Subhan “Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al Quran”, 1999. Yogyakarta: LKiS

[7] Lihat Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) “Kembang Setaman Perkawinan: Studi Kritis atas Kitab Uqudul Lujain”, 2005. Jakarta: Penerbit Kompas

[8] Lihat S.R. Dzuhayatin “Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi Perempuan dalam Islam” dalam Irwan Abdullah (ed.) Sangkan Paran Gender, 2003. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 61-81

[9] Lihat Nasr H.A. Zayd “Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam”, 2003. Yogyakarta: SAMHA bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga dan McGill

[10] Lihat Azyumardi Azra “Biografi Sosial Intelektual Ulama Perempuan, Pemberdayaan Histiografi” dalam Jajat Burhanuddin (ed.) Ulama Perempuan Indonesia, 2002. Jakarta: Gramedia dan PPIM UIN Syarif Hidayatullah

Biodata:

Khaerul Umam Noer, alumnus Antropologi FISIP Universitas Airlangga, saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pengembangan Minat, Bakat dan Intelektual Santri di Pondok Pesantren Attaqwa Putri; Anggota Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Nuruttaqwa Foundation, Bekasi.

Alamat:  Pondok Pesantren Attaqwa Putri, Jl. KH. Noer Alie, Ds. Bahagia, Kec. Babelan, Kab. Bekasi 17612.

Telp:      (021) 89132251 / 0817 498 9297

e-mail:   umam_noer@yahoo.com